Serat Centhini: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 45:
 
==Lingkup pengaruh==
Karya ini boleh dikatakan sebagi ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awawl, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum ''baboning pangawikan Jawi'', induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan kekebalan, dunia keris, karawitan dantari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
 
Karya ini boleh dikatakan sebagisebagai [[ensiklopedi]] mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awawlawal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum ''baboning pangawikan Jawi'', induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dantari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut [[Ulil Abshar Abdalla]], terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebiudayaan Jawa dari penetrasi luar.
 
Menurut [[Ulil Abshar Abdalla]], terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis ([[priyayi]]) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada [[syariah]] sebagaimana yang dibawakan oleh [[pesantren]] dan [[Walisongo]]. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkannya dengan [[mitologi|mitos-mitos]] khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam [[monoteisme]]-[[Islam]] dan paganisme/[[animisme]] Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebiudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
 
'''Dr. Badri Yatim MA''' menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton [[Majapahit]] menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep ''wahyu kedaton, susuhunan'', dan ''panatagama'' terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang [[ortodoks]].
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegara tersebut.
 
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa [[Ranggawarsita]] sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegara[[Mangkunegaran]] tersebut.
 
==Kepustakaan==