Marga Mandailing: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Aldo samulo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Wahyuraorao (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
Perkataan '[[marga']] yangdi [[Mandailing]] atau [[Mandahiling]] bisa berarti '[[clan']] itu asalnya dari bahasa [[Sanskrit]], [[varga]] yaitu [[warga]] atau [[warna]] , ditambah imbuhan ''ma'', menjadi ''mavarga'' atau ''mawarga'', artinya berwarga, dan disingkat menjadi ''marga''. Marga itu sendiri bermakna ''kelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan atau satu dusun''. Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA keluaRGA'. Tidak semua orang Mandailing mencantumkan ''marga'' dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing ada juga yang tak memakai garis [[patrilineal]] ( sistem marga), melainkan [[matrilineal]] (''suku'' dalam bahasa [[Minang]], seperti contohnya etnis [[Lubu]] yang merupakan penduduk asli Mandahiling). Marga juga bisa diartikan sebagai nama dari ''dusun'', seperti halnya arti marga di wilayah [[Sumatera Selatan]].
{{rapikan|date=23 Desember 2010}}
{{wikify|date=23 Desember 2010}}
{{paragraf_pembuka|date=23 Desember 2010}}
{{tanpa_referensi|date=23 Desember 2010}}
Perkataan 'marga' yang berarti 'clan' itu asalnya dari bahasa Sanskrit, varga yaitu warna. Marga itu bermakna 'kelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan atau satu dusun'. Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA keluaRGA'. Tidak semua orang Mandailing mencantumkan 'marga' dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing ada juga yang tak memakai garis patrilineal (marga), melainkan matrilineal (suku dalam bahasa Minang, seperti etnis Lubu yang merupakan penduduk asli Mandahiling). Marga juga bisa diartikan sebagai nama dari dusun seperti halnya arti marga di wilayah Sumatera Selatan.
 
== Asal Usul ==
Seperti orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai silsilah (tarombo/tambo) mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo) kemudian diturunkan secara tertulis.
Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal-usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.
 
Seperti [[orang Arab]] dan [[Tionghoa]], orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai silsilah ([[tarombo]]/[[tambo]]) mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo), kemudian diturunkan secara tertulis. Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal-usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.
Penelitian silsilah marga Lubis Singengu dan Lubis di Pakantan, beserta Harahap dan Hutasuhut di Angkola yang merupakan keturunan Namora Pande Bosi, menunjukkan bahwa marga itu mula menetap di Mandailing Julu pada kurun ke-16. Sementara Lubis-Lubis lainnya, seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao, Tanjung, dan lainnya, yang sudah ada jauh sebelum Namora Pande Bosi, sampai sekarang belum dipublikasikan.
 
Penelitian silsilah marga [[Lubis]] Singengu (keturunan Silangkitang) di Kotanopan dan Lubis Singasoro (keturunan Sibaitang) di Pakantan , beserta [[Harahap]] (keturunan Sutan Bugis) dan [[Hutasuhut]] (keturunan Sutan Borayun) di Angkola]], yang merupakan keturunan '''Namora Pande Bosi''', menunjukkan bahwa marga itu mula menetap di Mandailing Julu dan Mandailing Jae (Angkola) pada kurun abad ke-16 M, keturunan dari [[Raden Patah]] dari [[Majapahit]], yang bersama pasukan [[Bugis]] dari [[Palembang]], yang kalah adu kerbau dengan Kerajaan [[Pagaruyung]] di [[Padang Sibusuk]]. Sementara Lubis-Lubis lainnya, seperti [[Parinduri]], [[Batubara]], [[Daulae]], [[Raorao]], [[Tanjung]], dan lainnya, yang sudah ada jauh sebelum Namora Pande Bosi, umumnya sampai sekarang belum banyak dipublikasikan.
Umumnya marga-maraga di Mandailing, kisah asal-usulnya tidak menunjukkan berasal dari Toba, seperti opini yang ditebarkan. Antara lain, Batu Bara, Daulae dan Matondang yang berasal dari satu nenek moyang. Tokoh nenek moyang ketiga marga tersebut menurut kisahnya dua orang bersaudara, yakni Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo. Sekitar 1560 keduanya bersama rombongan berangkat dari Batu Bara, Tanjung Balai menuju kawasan Barumun. Di tempat itu, mereka mendirikan kampung bernama Binabo dan di situlah akhirnya Parmato Sopiak meninggal dunia. (Pada 1981 beberapa tokoh marga Daulae, Matondang dan Batu Bara dari Mandailing telah memugar makam Parmato Sopiak yang terletak dekat desa Binabo di kawasan Barumun.) Kemudian hari, dua putera Parmato Sopiak yang bernama Si Lae dan Si Tondang bersama pengikut mereka pindah ke Mandailing Godang, dan mendirikan kampung bernama Pintu Padang. Di situlah, keturunan mereka berkembang dan bermarga Daulae dan Matondang. Datu Bitcu Rayo kemudian berpindah, dan mendirikan kampung Pagaran Tonga. Di tempat itu, keturunannya berkembang menjadi marga Batu Bara.
 
Sementara pada umumnya marga [[Nasution]] Sibaroar yang berada di Mandailing Godang merupakan keturunan Si Baroar gelar '''Sutan (Sultan) Di Aru''', dan marga-marga Nasution lainnya, antara lain Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain, berdasarkan nama dusun masing-masing, yang awalnya memakai sistem matrilineal.
Orang-orang Mandailing bermarga Rangkuti dan pecahannya marga Parinduri, juga tidak mendukung pendapat, yang mengatakan mereka berasal dari Toba. "...sampai kini tidak seorang pun marga Rangkuti yang menganggap dirinya Batak, tidak marmora (punya hubungan kerabat mertua) dan tidak maranak boru (punya hubungan kerabat bermenantu) ke Tanah Batak." Sebab, menurut penuturan yang dihimpun dari orang-orang tua di Mandailing dan disesuaikan pula dengan tarombo marga Rangkuti, bahwa Ompu Parsadaan Rangkuti (nenek moyang orang-orang bermarga Rangkuti) di Runding, bernama Mangaraja Sutan Pane, yang pada kira-kira abad ke XI datang dari Ulu Panai membuka Huta Runding dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan tersebut berhadapan dengan Harajaon (kerajaan) Pulungan di Hutabargot di kaki Tor (gunung) Dolok Sigantang di seberang sungai Batang Gadis kira-kira 16km dari Panyabungan". Versi lain pula mengatakan bahwa nenek moyang orang Mandailing bermarga Rangkuti pada mulanya datang "dari Aceh Selatan (dari Rondeng Tapak Tuan) menyusur pantai laut sampai ke Natal". Dari sana mereka kemudian turun ke Mandailing Godang dan mendirikan perkampungan mereka yang dinamakan Runding sesuai dengan nama tempat asal mereka. Versi lainnya, Rangkuti merupakan keturunan dari Ra Kuti, yang merupakan tokoh dalam pemberontakan Wedeng pada masa Majapahit, yang lari ke Mandailing yang pada masa lampau sebelum Majapahit masuk dalam Kesultanan Aru.
 
Umumnya marga-maragamarga di Mandailing, kisah asal-usulnya tidak menunjukkan berasal dari Toba, seperti opini yang ditebarkan. Antara lain, [[Batu Bara]], [[Daulae]] dan [[Matondang]] yang berasal dari satu nenek moyang. Tokoh nenek moyang ketiga marga tersebut menurut kisahnya dua orang bersaudara, yakni '''Parmato Sopiak''' dan '''Datu Bitcu Rayo'''. Sekitar Tahun 1560 M, keduanya bersama rombongan berangkat dari [[Batu Bara]], [[Tanjung Balai]] menuju kawasan [[Barumun]]. Di tempat itu, mereka mendirikan kampung bernama Binabo, dan di situlah akhirnya Parmato Sopiak meninggal dunia. (Pada 1981, beberapa tokoh marga Daulae, Matondang dan Batu Bara dari Mandailing telah memugar makam Parmato Sopiak yang terletak dekat desa Binabo di kawasan Barumun.) Kemudian hari, dua putera Parmato Sopiak yang bernama '''Si Lae''' dan '''Si Tondang''' bersama pengikut mereka pindah ke Mandailing Godang, dan mendirikan kampung bernama Pintu Padang. Di situlah, keturunan mereka berkembang dan bermarga Daulae dan Matondang. '''Datu Bitcu Rayo''' kemudian berpindah, dan mendirikan kampung Pagaran Tonga. Di tempat itu, keturunannya berkembang menjadi marga Batu Bara.
Marga-Marga Mandailing
 
Orang-orang Mandailing bermarga [[Rangkuti]] dan pecahannya marga [[Parinduri]], juga tidak mendukung pendapat, yang mengatakan mereka berasal dari [[Toba]]. "...sampai kini tidak seorang pun marga Rangkuti yang menganggap dirinya [[Batak]], tidak ''marmora'' (punya hubungan kerabat mertua) dan tidak ''maranak boru'' (punya hubungan kerabat bermenantu) ke Tanah Batak." Sebab, menurut penuturan yang dihimpun dari orang-orang tua di Mandailing dan disesuaikan pula dengan tarombo marga Rangkuti, bahwa '''Ompu Parsadaan Rangkuti''' (nenek moyang orang-orang bermarga Rangkuti) di Runding, bernama '''Mangaraja Sutan Pane''', yang pada kira-kira abad ke XI datang dari Ulu Panai membuka Huta Runding dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan tersebut berhadapan dengan ''Harajaon'' (kerajaan) Pulungan di Hutabargot di kaki Tor (gunung) Dolok Sigantang di seberang sungai Batang Gadis kira-kira 16km16 km dari Panyabungan". Versi lain pula mengatakan bahwa nenek moyang orang Mandailing bermarga Rangkuti pada mulanya datang "dari Aceh Selatan (dari Rondeng Tapak Tuan) menyusur pantai laut sampai ke Natal". Dari sana mereka kemudian turun ke Mandailing Godang dan mendirikan perkampungan mereka yang dinamakan Runding, sesuai dengan nama tempat asal mereka. Versi lainnya, Rangkuti merupakan keturunan dari Ra Kuti, yang merupakan tokoh dalam pemberontakan Wedeng''Wedheng'' pada masa Majapahit, yang lari ke Mandailing yang pada masa lampau sebelum Majapahit masuk dalam [['''Kesultanan Aru''']].
 
== Marga-Marga Mandailing ==
 
Etnis Mandailing hanya mengenal sekitar belasan marga, antara lain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut.
Baris 24 ⟶ 23:
Di Padang Lawas, terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis.
 
Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul ''Horja'', marga-marga di Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.
Nota Kaki
 
1. Edward McKinnon, Vocabulary: Karo Words of Sanskritic and Tamil Origin, tidak diterbitkan. T. Iskandar, Kamus Dewan, 1970.
== Bacaan lanjut ==
2. Katalog Koleksi Melayu, UKM, 1990.
* {{cite book
3. Syarahan Haji Abdullah Abbas Nasution, tidak bertarikh.
|last=Loebis
4. Temubual dengan Ustadh/Cikgu Dahlan Harun (Lubis) di Kampong Batu Sembilan, Chemor, Perak.
|first=Abdoellah
5. Basyral Hamidy Harahap, Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk, 1976.
9. Abdoellah Loebis, |title=Riwajat Mandailing, dipetik dari Mangaraja Ihoetan, Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan, 1926.
6. Donald Tugby, Cultural Change and Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia, University of Queensland Press, 1977.
|publisher=Medan
7. Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta, 1987.
|year=1926}}
8. N. Siahaan, Sedjarah Kebudajaan Batak, Medan, 1964.
* {{cite book
9. Abdoellah Loebis, Riwajat Mandailing, dipetik dari Mangaraja Ihoetan, Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan, 1926.
|last=Harahap
10. Lance Castles, Statelessness and Stateforming Tendencies among the Batak before Colonial Rule. Anthony Reid and Lance Castles (editors), Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia, Monographs of MBRAS, Kuala Lumpur, 1975.
|first=Basyral Hamidy
11. Ariffin Omar, Bangsa Melayu Malay, Concepts of Democracy and Community 1945-1950, Oxford University Press, 1993.
5. Basyral Hamidy Harahap, |title=Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk, 1976.
|publisher=Jakarta
|date=1976}}
* {{cite book
|last=Siahaan
|first=N.
8. N. Siahaan, |title=Sedjarah Kebudajaan Batak, Medan, 1964.
|publisher=Medan
|year=1964}}
* {{cite book
|last=Harahap
|first=Basyral Hamidy
|authorlink=Basyral Hamidy Harahap
|coauthor=Hotman M. Siahaan
|title=Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak
|publisher=Jakarta
|year=1987}}
 
== Pranala luar ==
* [http://www.mandailing.org] situs Mandailing online