Kuryokalangan, Gabus, Pati: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k bot Mengubah: jv:Koryokalangan, Gabus, Pathi |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 12:
}}
'''Kuryokalangan''' adalah [[desa]] di [[kecamatan]] [[Gabus, Pati|Gabus]], [[Kabupaten Pati|Pati]], [[Jawa Tengah]], [[Indonesia]].
Kuryokalangan merupakan sebuah pemerintahan administratif berbentuk desa yang berada di sepanjang Jalan Raya Gabus-Tlogoayu KM.02 Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati. Desa ini terbagi atas dua wilayah (baca: dukuh) yaitu: Kuryo dan Kalangan. Nama Kuryokalangan sendiri berasal dari penggabungan dua nama dukuh tersebut. Jika dilihat dari posisi, kedua dukuh tersebut saling berjajar antara satu dengan yang lain, Kuryo berada di sebelah selatan dan Kalangan berada di sebelah utara, ditambah kalangan Tempel yang terdiri RT.1 RW.1 dan RT 2 RW.1 terletak disepanjang Jl. Gabus-tlogoayu.
Kalangan mempunyai akar historis yang berhubungan dengan masa penyebaran Islam di pulau Jawa. Menurut pengakuan salah satu sesepuh desa, Mbah Parmo, yang ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu mengatakan bahwa munculnya nama “kalangan” berkaitan dengan peristiwa masa lampau. Sekitar abad ke-18 M, seorang murid Sunan Muria, Singgo Joyo, turut aktif dalam memperluas penyebaran agama Islam di tanah Jawa, khususnya di wilayah pantai utara. Singgo Joyo kemudian memfokuskan daerah penyebaran Islam di sebuah wilayah yang sekarang bernama Kuryokalangan.
Pada zaman dahulu wilayah Kuryokalangan merupakan hutan belantara dan belum ada penduduk yang menempati. Oleh karenanya Mbah Singgo Joyo membuka hutan di areal tersebut. Pada saat membuka lahan untuk tempat bediam diri, mbah Singgo Joyo menggunakan gaman (baca: senjata tajam) untuk menebang pepohonan. Dalam proses pembukaan lahan tersebut, beliau kehilangan gaman. Oleh karena peristiwa kehilangan gaman pusaka tersebut, mbah Singgo Joyo memberi nama daerah itu dengan sebutan Kalangan. Kata Kalangan sendiri berasal dari bahasa Jawa “kelangan” yang berarti kehilangan.
Dahulu dukuh Kalangan memiliki pasar yang bernama “pasar Wage”. Namun pasar tersebut letaknya tidak berada seperti pasar yang ada sekarang, melainkan terletak di sekitar pohon asem. Pohon asem sendiri tumbuh di lokasi punden secara alami atau bahkan tidak sengaja. Ketika Singgo Joyo sedang makan, makanan yang akan beliau santap terdapat klungsu (baca: biji Asem) di dalamnya. Klungsu tersebut dibuang oleh beliau dan kemudian tumbuh menjadi sebuah pohon yang berada di sekitar rumahnya.
Mbah Parmo juga menuturkan bahwa pohon Doro yang berada tidak jauh dari pohon Asem duhulu adalah lokasi kediaman Singgo Joyo. Rumah beliau menghadap ke selatan dengan pohon asem sebagai penandanya. Asem besar sebagai rumah depan dan asem kecil sebagai rumah belakang. Di sebelah barat rumah beliau juga terdapat sungai yang mengalir sebagai sarana keperluan sehari-hari. Sedangkan tempat yang oleh warga sekitar disebut “Sigit” dahulu rencananya akan dibangun sebuah masjid. Namun sebelum pembangunan masjid dimulai, Singgo Joyo terlebih dahulu wafat sehingga rencana pembangunan masjid belum terlaksana.
Di wilayah desa Kuryokalangan, khususnya dukuh kalangan, terdapat sebuah mitos yang diyakini oleh warga. Warga setempat yang akan melangsungkan pernikahan hendaknya mengunjungi pohon asem atau biasa disebut Mubeng Asem. Mubeng Asem dilakukan oleh mempelai laki-laki sebelum melaksanakan upacara pernikahan guna menghormati adat yang berlaku dalam masyarakat( bagi yang percaya ). Menurut cerita, kebiasaan tersebut awalnya diminta untuk dilaksanakan oleh istri Singgo Joyo yang senang melihat pengantin. Selain kebiasaan Mubeng Asem, ada juga bentuk kegiatan lain yang masih dipertahankan untuk dilaksanakan masyarakat di sekitar pohon asem. Warga setempat menyebutnya sebagai ritual “manganan”, yaitu melaksanakan hajatan secara sederhana dengan mengundang beberapa orang dan membaca doa-doa atau tahlilan. Manganan biasanya dilaksanakan ketika seseorang mempunyai keinginan atau hajat dengan harapan mereka mendapat ridlo dari Allah SWT. Kebiasaan ini duhulu sengaja dianjurkan oleh Singgo Joyo dengan maksud agar seseorang mau bersedekah atau berbagi rejeki antara satu dengan yang lain.
Perlu diketahui bahwa makam Singgo Joyo tidak terletak di area pohon asem. Makam beliua berada dikomplek pemakaman Sunan Muria di gunung Muria. Tepatnya berada di dekat pintu masuk atau pelawangan komplek pemakaman Sunan Muria. Guna mengenang dan menghormati jasa-jasa beliau para pemuda memberikan nama Singgo Joyo untuk team sepak bola yang ada di Kuryokalangan.
Sebuah desa dikaki gunung Muria, dengan view gunung-gunung serta pegunungan kendeng disebelah selatan, pasti akan memajakan kita. apalagi jika cuaca sedang cerah dengan angin semilir, membuat seakan kita tak rela sedikitpun jika mata ini harus berkedip. hasil utama dari masyarakat kuryokalangan adalah dari sektor pertanian. selain itu, konveksi menjadi andalan yang kedua. hasil konveksi antara lain: celana, baju dan jaket. Hasil produksinya dikirim ke seluruh penjuru tanah air, hingga pelosok kalimantan. Ada juga beberapa orang yang ingin memanfaatkan lahan-lahan yang kosong dengan menanam jambu citra dan kelengkeng pimpong. jambu citra terbanyak dikebun Bapak Abdul Kalim sekitar 100 pohon umur 3 tahun dan beberapa pohon dirumah-rumah penduduk.
Peternakan pun menjadi salah satu tumpuan hidup sebagian penduduk. di sebelah utara berbatasan dengan desa mojolawaran, disebelah barat dan selatan berbatasan dengan bogotanjung, dan desa sugihrejo di timur. ada Roudlotul Atfal ( RA ) dengan murid sebanyak kurang lebih 96 anak dengan seorang kepala RA Ibu Umdah Inayah, S.H. 2 sekolah dasar dan 1 madrasah ibtidaiyah/ MI (setingkat SD)yang bernama Madrasah Hidayatul Hidayah dengan seorang Kepala Bapak KH. Muh Nur Habib, Z.A. 1 Madrasah Tsanawiyah/ MTS ( setingkat SMP ) yang bernama MTs Abadiyah dipimpin Seorang Kepala Sekolah Drs. Saiful Islam dari desa Sambirejo Gabus terdiri 14 Kelas dan 1 Madrasah Aliyah / MA (setingkat SMA)yang bernama Madrasah Aliyah Abadiyah dengan Seorang Kepala Sekolah Bapak Abdul Kalim, S.Pd.I, MM.dari desa Kuryokalangan dengan jumlah kelas 10 buah. ada satu lagi yaitu Pondok Pesantren Nurul Huda sebagai pengasuh Bapak KH. Abdul Mikhit Ahmad dengan murid sekitar 300 anak. Masyarakat yang relegius membuat desa ini nyaman dan aman untuk ditinggali. ada 2 masjid 1. Masjid Baitul Muttqin I, sebagai Takmir Bapak Abdul Kalim, S.Pd.I, MM. 2. Masjid Baitul Muttaqin II, sebagai takmir Bapak Moh. Zaeni dan puluhan mushola. banyak kyai dan ulama menjadi salah satu faktornya. Lingkungan yang Asri dan jauh dari kebisingan kota, seakan Tinggal disurga. udara sejuk, masyarakat yang ramah, dan tanah yang subur, surga bagi para penghuninya. akan tetapi suasana yang sedemikian indah, menjadi tak bermakna karena ditinggal sebagian dari para pemudanya. tuntutan ekonomi dan beban hidup yang semakin besar, mengusik hati para pemuda untuk beranjak keluar kota bahkan luar negri.
{{Gabus, Pati}}
|