A.Z.R. Wenas: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
PT50Pauline (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
PT50Pauline (bicara | kontrib)
Baris 23:
Wenas adalah seorang turunan dari penguasa Tomohon (Mayoor) pada masa Belanda berkuasa di Minahasa. Ayahnya Lodewijk Wenas, adalah Kepala Onderdistrik (Kumarua, Hukum Kedua atau kini Camat) Kakaskasen tahun 1895-1902. Kemudian dipindahkan ke Tombatu sebagai Hukum Kedua Tombatu.
 
Tokoh dan pendeta karismatik GMIM. Lulus Sekolah Pendeta ''Theologische School Oegstgeest'' Belanda 1921. Jadi pendeta di Kumelembuai, lalu direktur sekolah pendeta STOVIL, dan salah-satu pendiri GMIM tahun 1934. Menjadi Ketua Majelis Jemaat Tomohon, Wakil Am BP Sinode, Wakil Ketua Sinode GMIM November 1941. Ketua Sinode GMIM 1942, menolak dipilih lagi 1951, tapi sidang sinode tetap memilihnya sebagai Wakil Ketua, malah kelak ia menjalankan fungsi Ketua di tahun 1955. Lalu pada 24 Mei 1957 dipilih lagi sebagai ketua. Hasil-hasil usaha di bidang sosial dan kemanusiaan membuatnya menjadi sangat disegani dan dihormati. Tahun 1946 ia dianugerahi Belanda tanda jasa Officier in the Orde van Oranje Nassau, UKIT memberinya gelar doktor HC atas jasa-jasa di bidang gerejani, sosial, kebudayaan dan lain-lain. Ia juga berperan besar dalam penyelesaian Permesta. Ditawari Presiden Soekarno ke Jakarta, dan Agustus 1959 ditunjuk menjadi anggota DPA, tapi ditolak dengan alasan dibutuhkan masyarakat. Tahun 1965 turut jadi anggota delegasi DGI ke SR DGD di New Delhi. Dari pemerintah Ondonesia tahun 1968 menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial.
 
Ds. A.Z.R. Wenas (lahir 28 Oktober 1897-meninggal 11 Oktober 1967) dengan resmi mengambilalih tugas pimpinan dalam kapasitas sebagai wakil Locher. Dan kemudian dikukuhkan dalam sidang sinode Mei 1942. Ia menjadi Ketua Sinode GMIM orang Minahasa pertama, dengan Jurutulis H. Goni dan Bendahara Ds. Bertus Moendoeng. Ds. Bertus Moendoeng (hidup 27 Oktober 1896-15 Februari 1948), sempat menjadi Pejabat Ketua Sinode GMIM sementara selama 1 tahun ketika Wenas harus mendampingi istrinya yang sakit. Ia dipilih lagi dalam Sidang Sinode Oktober 1945.