James Hal Cone: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
PT26Hendra (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
PT26Hendra (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 36:
[[Kristus]] Amerika itu tidak memiliki ciri-ciri rasial, Ia berkulit langsat, berambut ikal warna coklat dan kadang-kadang sungguh ajaib-memiliki mata biru..<ref name="james">{{en}} James Hal Cone. ''Black Theology Documentary''. 1970. USA: Roermond. Hal. 116-117.</ref> Orang-orang kulit putih berkeberatan jika ia berbibir tebal, sama seperti [[orang Farisi]] berkeberatan, jika mereka melihat Dia di suatu ”pesta” bersama dengan orang-orang pemungut cukai.<ref name="james"/>Namun apakah orang kulit putih setuju atau tidak, Kristus berkulit hitam. Memperkirakan, bahwa Kristus memilih kulit hitam, bukanlah suatu gagasan [[teologi emosional]],… membayangkan Kristus tidak berkulit hitam dalam abad ke-20, secara teologis sama mustahil dengan bila ia dibayangkan bukan orang [[Yahudi]] di abad pertama.<ref name="james"/>
 
Cone mempertanyakan kembali apa artinya keputusan [[Konsili Nicea]] pada tahun 325, yang menyatakan bahwa Kristus adalah sehakikat –homoousios- dengan Bapa dan keputusan [[Konsili Chalcedon]] pada tahun 451, yang menyatakan bahwa kedua kodrat yang ilahi dan manusiawi, tidak terbagi dan terpisah dan tidak tercampur dan tidak berubah.<ref name="hal">{{en}} James Hal Cone. ''God of Oppressed''. 1975. USA: Roermond. Hal. 5.</ref> Apa artinya bagi mereka yang melihat Yesus bukan sebagai suatu gagasan dalam pemikiran, tetapi Yesus yang mereka kenal sebagai juru selamat dan sahabat.<ref name="hal"/> Pokok ini diuraikan oleh Cone dalam bukunya ''The Spirituals and Blues''. Menurut dia, lagu Negro Spirituals itu bersifat cerita mengenai daya upaya historis orang kulit hitam untuk memperoleh kebebasan duniawi, dan bukan suatu proyeksi orang Afrika yang tidak mempunyai harapan dan yang telah melupakan “tanah air” mereka, atas dunia lain.<ref name="WsselWessel">{{id}} Anton Wessel. ''Memandang Yesus''. 2001. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 84-89.</ref> Dalam lagu-lagu “Spirituals” itu Yesus dilihat sebagai Raja yang membebaskan umat manusia dari penderitaan yang tidak adil.<ref name="Wessel"/> Ia penghibur dalam waktu-waktu susah, “bunga bakung yang di lembah” dan bintang terang diwaktu menjelang pagi. “Spirituals” itu tidak mengungkapkan spekulasi teologis. Yesus bukanlah pokok-pokok permasalahan teologis. Ia dilihat dalam kenyataan pengalaman kaum kulit hitam. Spirituals itu berbicara jelas dan tuntas tentang sifat ilahi Yesus. Berbicara mengenai Bapa dan Anak adalah dua cara untuk berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyarakat budak. Yang menjadi pusat keberadaan mereka adalah lambing dari penderitaan mereka. Yesus berada di tengahnya, sehingga Ia adalah Sahabat dn Teman sependeritaan dalam perbudakan, “Spirituals” itu tidak hanya berbicara tentang apa yang dilakukan oleh Yesus dan sedang dilakukan bagi orang kulit hitam dalam perbudakan. Ia dianggap sebagai orang yang memegang kunci penghakiman. Yesus adalah Allah sendiri, yang menerobos ke dalam masa lampau historis umat manusia dan mengubahnya sesuai dengan pengharapan ilahi.
Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus diakui berdasarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang akan datang. “Kita baru dapat memahami riwayat hidup Yesus di masa lampau dan arti keselamatan-Nya (soteriologis), jika hidup-Nya di masa lampau dikaitkan secara logis dan teratur (dialektis) dengan kehadiran-Nya di masa kini dan kedatangan-Nya di masa yang akan datang”. Dalam menganalisa hidup Yesus di masa lampau, kita tidak dapat menyangkal nilai soteriologis-Nya di masa kini sebagai Tuhan dari pergumulan kita sekarang. Pandangan terhadap masa depan Kristus, yang menerobos kehidupan mereka sebagai budak, mengubah pandangan mereka terhadap masa depan mereka sendiri. Para teolog kulit hitam harus dapat membuktikan, bahwa sifat hitam Yesus bukan hanya bakat psikologis dari orang kulit hitam, tetapi berasal dari penelitian yang dapat dipercaya, dari sumber-sumber yang menyoroti riwayat hidup Yesus di masa lampau, masa kini dan masa depan. Kalau kita tidak berhasil dalam hal ini, demikian Cone berkata, maka kita akan kena tuduhan, bahwa “Kristus yang hitam” adalah suatu pemutar-balikan ideologis dari Perjanjian Baru untuk tujuan-tujuan politis.
Yesus hitam, karena Dia orang Yahudi. Penyataan mengenai “Yesus berkulit hitam” dapat dipahami. Jika arti Keyahudian-Nya di masa lampau, dikaitkan secara dialektis dengan sifat hitam-Nya sekarang. Keyahudian Yesus menempatkan Di dalam konteks keluaran (exodus), dan kedatangan-Nya di Palestina dihubungkan dengan pembebasan orang-orang Israel oleh Allah, ke luar dari Mesir (Yes 42:6,7).