James Hal Cone: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
PT26Hendra (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
PT26Hendra (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 40:
[[Berkas:Cicatrices de flagellation sur un esclave.jpg|thumb|left|Peter, seorang budak di Louisiana.]]
Menurut dia, lagu Negro Spirituals itu bersifat cerita mengenai daya upaya historis orang kulit hitam untuk memperoleh kebebasan duniawi, dan bukan suatu proyeksi orang Afrika yang tidak mempunyai harapan dan yang telah melupakan “tanah air” mereka, atas dunia lain.<ref name="Wessel">{{id}} Anton Wessel. ''Memandang Yesus''. 2001. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 84-89.</ref> Dalam lagu-lagu “Spirituals” itu Yesus dilihat sebagai Raja yang membebaskan umat manusia dari penderitaan yang tidak adil.<ref name="Wessel"/> Ia penghibur dalam waktu-waktu susah, “bunga bakung yang di lembah” dan bintang terang diwaktu menjelang pagi. “Spirituals” itu tidak mengungkapkan spekulasi teologis.<ref name="Wessel"/> Yesus bukanlah pokok-pokok permasalahan teologis. <ref name="Wessel"/>Ia dilihat dalam kenyataan pengalaman kaum kulit hitam. Spirituals itu berbicara jelas dan tuntas tentang sifat ilahi Yesus. <ref name="Wessel"/>Berbicara mengenai Bapa dan Anak adalah dua cara untuk berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyarakat budak.<ref name="Wessel"/> Yang menjadi pusat keberadaan mereka adalah lambing dari penderitaan mereka.<ref name="Wessel"/> Yesus berada di tengahnya, sehingga Ia adalah Sahabat dn Teman sependeritaan dalam perbudakan, “Spirituals” itu tidak hanya berbicara tentang apa yang dilakukan oleh Yesus dan sedang dilakukan bagi orang kulit hitam dalam perbudakan. Ia dianggap sebagai orang yang memegang kunci penghakiman. Yesus adalah Allah sendiri, yang menerobos ke dalam masa lampau historis umat manusia dan mengubahnya sesuai dengan pengharapan ilahi.<ref name="Wessel"/>
Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus diakui berdasarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang akan datang. “Kita baru dapat memahami riwayat hidup Yesus di masa lampau dan arti keselamatan-Nya (soteriologis), jika hidup-Nya di masa lampau dikaitkan secara logis dan teratur (dialektis) dengan kehadiran-Nya di masa kini dan kedatangan-Nya di masa yang akan datang”. Dalam menganalisa hidup Yesus di masa lampau, kita tidak dapat menyangkal nilai soteriologis-Nya di masa kini sebagai Tuhan dari pergumulan kita sekarang. Pandangan terhadap masa depan Kristus, yang menerobos kehidupan mereka sebagai budak, mengubah pandangan mereka terhadap masa depan mereka sendiri. Para teolog kulit hitam harus dapat membuktikan, bahwa sifat hitam Yesus bukan hanya bakat psikologis dari orang kulit hitam, tetapi berasal dari penelitian yang dapat dipercaya, dari sumber-sumber yang menyoroti riwayat hidup Yesus di masa lampau, masa kini dan masa depan. Kalau kita tidak berhasil dalam hal ini, demikian Cone berkata, maka kita akan kena tuduhan, bahwa “Kristus yang hitam” adalah suatu pemutar-balikan ideologis dari Perjanjian Baru untuk tujuan-tujuan politis.
|