Anindya Bakrie: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 3:
 
Berada dalam lingkungan pebisnis, menjadikan Anindya bukan orang asing dalam dunia ini. Dalam usianya yang relatif muda ia telah memimpin sejumlah perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan media. Ia menjadi presiden direktur dari Bakrie Telecom dan Visi Media Asia yang membawahi ANTV, tvOne, dan VIVAnews.
 
Anin boleh dibilang sudah teruji insting dan kemampuan bisnisnya. KeluargaIni besarberkat Bakrie,keputusan tampaknyakeluarga sengajamencemplungkannya mengujike Anindalam kawah candradimuka dan menguji dengan berbagai tugas berat yang menantang ketangguhan dan kemampuannya. Tak lama setelah meraih MBA dari Standford University, ia bergabung dengan perusahaan investasi besar dunia Salomon Brothers di New York, USA. Namun ketika Indonesia dilanda krisis tahun 1997, ia diminta pulang untuk membantu membenahi Bakrie Brothers perusahaan keluarga yang tengah ''collaps''.
 
Tahun 1998 Anin diminta menjadi Deputy Managing Director yang bertugas melakukan restrukturisasi utang Bakrie Brothers yang bertumpuk. Tahun 2001, Bakrie Brothers berhasil merestrukturisasi utangnya, antara lain menukarnya dengan kepemilikan saham.
 
Sukses di Bakrie Brothers, ia diberi tantangan lain untuk membenahi stasiun TV milik keluarga, ANTV. Ketika masuk Antv pada tahun 2002, stasiun tv nasional itu hampir bangkrut karena dililit utang. Hanya dalam waktu dua tahun ia bisa merestrukturisasinya dan utangnya menjadi nol. Sekitar 80 persen utang perusahaan menjadi penyertaan modal.
 
Baris 14 ⟶ 16:
BTEL terus berkembang dan melahirkan sebuah unit usaha baru, yaitu Bakrie Connectivity (Bconnect), yang memasarkan layanan data nirkabel EVDO (Evolution Data Optimize), dengan nama produk ‘AHA’. Peluncuran AHA tersebut dilakukan di Jakarta 24 Juni 2010 berkolaborasi dengan Google yang meluncurkan produk terbarunya Google Chrome yang telah di modifikasi secara khusus untuk AHA.
 
Kemampuan Anin membenahi berbagai perusahaan yang terlilit utang, menjadikan dirinya sebagai seorang '''''turnaround artist''''', yakni sebuah kemampuan menjadikan perusahaan yang hampir bangkrut, menjadi kembali menguntungkan. Di dunia ada beberapa nama terkenal sebagai ''turnaround artist. Salah satunya adalah'', '''Glenn Gumpel''' yang berhasil membenahi Universal Studio Jepang di Osaka yang hampir bangkrut, hanya dalam waktu dua tahun. Atau '''Richard Teerlink''' yang dinilai melakukan keajaiban ketika membenahi Harley Davidson tahun 1981. "Keluarga besar saya bilang, percuma disekolahkan mahal-mahal kalau kemudian cuma diserahi perusahaan yang sudah berjalan baik," katanya sambil tertawa.
 
Pecinta olahraga lari marathon ini termasuk orang yang percaya dengan masa depan dan kekuatan New Media. Ini bisa terlihat dari langkahnya mendirikan Vivanews.com dengan merekrut sejumlah wartawan majalah Tempo. VIVAnews yang didirikan 17 Desember 2008, kini telah menjadi pemain ketiga terbesar di bisnis news media online.
Baris 42 ⟶ 44:
Bakrie Chair adalah bagian kegiatan dari Bakrie Center Foundation (BCF). Di bawah BCF ada program bantuan bea siswa untuk program pasca sarjana bernama Bakrie Graduate Fellowship (BGF). Program ini memberi bantuan untuk mahasiswa program magister/post graduate dengan bekerjasama sejumlah perguruan tinggi terkemuka di dalam dan luar negeri.
 
Di Indonesia kerjasama telah terjalin dengan Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Andalas (Unand)Padang dan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Beberapa kerjasama dengan perguruan tinggi lain segera menyusul. Sementara di luar negeri kerjasama terjalin dengan Standford University (AS) dan Nanyang Technological University (Singapura). Khusus untuk NTU, sebanyak empat bea siswa yang diberikan, dua diantaranya untuk mahasiswa Indonesia, dan dua lainnya untuk mahasiswa dari negara anggota Asean. Di Indonesia, BCF sedang menjajaki kerjasama dengan lima perguruan tinggi lainnya di luar Jawa. Sementara di luar negeri BCF mengincar perguruan tinggi prestisius lainnya di AS, Eropa dan Australia.
 
"Sebuah bangsa hanya bisa maju jika tingkat pendidikannya tinggi. Saya melihat setiap tahun ada sekitar 2.5 juta lulusan SLTA. Yang bisa meneruskan ke bangku perguruan tinggi hanya sekitar 10 persen. Sementara lulusan perguruan tinggi yang meneruskan ke jenjang magister lebih kecil lagi. Setiap tahun Indonesia hanya menghasilkan 20.000 orang lulusan program S2. Bandingkan dengan Cina yang menghasilkan 800.000 orang dan India 750.000 orang magister." tegasnya.