Ibrahim Tunggul Wulung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 27:
 
==Perjumpaan dengan Kekristenan==
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, di dalam beberapa sumber, diceritakan memperoleh petunjuk untuk mempelajari kekristenan dengan cara yang aneh.<ref name="Wolterbeek"/> J.D. Wolterbeek mencatat bahwa pada suatu hari di dalam petapaannya di kawasan Gunung Kelud, Kiai Tunggul Wulung menemukan sepotong kertas yang bertuliskan Sepuluh Hukum Allah.<ref name="Wolterbeek"/> Tunggul Wulung juga mendapat wahyu dari Tuhan yang mengatakan bahwa ia harus menaati hukum ini dan disarankan meminta penjelasan tentang agama yang sejati kepada orang-orang yang tinggal di [[Sidoarjo]] dan Mojowarno.<ref name="Wolterbeek"/><ref name="Yolder">{{id}}Lawrence M. Yolder (ed). 1977. Bahan Sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa. Pati: Komisi Sejarah Gereja GITJ. Hlm. 56-57.</ref> Th. van den End mencatat bahwa pada masa itu Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen dengan cara yang tidak diketahui dengan pasti tetapi baik di [[Ngoro]] maupun Mojowarno letaknya tidak jauh dari Gunung Kelud dan pada tahun-tahun [[1840]]-an agama Kristen sudah cukup terkenal di kalangan penganut [[kebatinan]].<ref name="van den End"/> Th. van den End melanjutkan bahwa bagaimanapun juga pada tahun 1853 Tunggul Wulung muncul di Mojowarno dan dua tahun kemudian dia pun dibaptis oleh [[Jellesma]] dan diberi nama Ibrahim.<ref name="van den End"/>
 
Tim Penulis Sejarah GITJ mencatat bahwa perkenalan Tunggul Wulung dengan kekristenan terjadi dalam beberapa tahapan.<ref name="Soekotjo"/> Tahap pertama terjadi ketika Tunggul Wulung yang pada saat itu masih menjadi seorang pencari ''ngelmu'' bernama Kiai Ngabdullah sedang meninggalkan kota Juwono menuju desa [[Lo Ireng]], [[Semarang]].<ref name="Soekotjo"/> Di tengah perjalanannya tersebut ia berkenalan dengan kekristenan melalui sahabatnya yang menjadi bagian dari kelompok orang Kristen hasil penginjilan Pendeta Bruckner yang tinggal di Semarang.<ref name="Soekotjo"/> Perjumpaan tersebut tidak banyak memberikan pengaruh bagi Kiai Ngabdullah sebab tidak lama setelah itu Kiai Ngabdullah ditangkap dengan tuduhan melarikan kuda milik Controlir Juwono yang dipakai olehnya untuk meninggalkan Juwono menuju Semarang.<ref name="Soekotjo"/>
 
Tahap kedua terjadi ketika Kiai Ngabdullah berhasil lolos sebagai orang ''perantean'' (mungkin buronan) menuju ke tempat pembuangan di [[Sulawesi]] dan sudah tinggal di lereng Gunung Kelud sebagai petapa dengan nama Kiai Tunggul Wulung.<ref name="Soekotjo"/> Ia bergaul dengan petapa Nyi Endang Sampurnawati (di kemudian hari Nyai Endang Sampurnawati menjadi pasangan hidup Kiai Tunggul Wulung dan menetap di Mojowarno) yang konon adalah putri [[Bupati]] [[Kediri]] dan mulai lebih banyak mengenal ''ngelmu'' Kristen.<ref name="Soekotjo"/> Refleksi perjumpaannya dengan kekristenan itulah yang digambarkan melalui legenda bahwa pada suatu hari Kiai Ngabdullah menemukan di bawah tikar alas tidurnya secarik kertas bertuliskan Sepuluh Perintah Allah deisertai wahyu yang membisikkan petunjuk untuk mencari penjelasan ke arah timur laut.<ref name="Soekotjo"/><ref name="Yolder"/>
 
==Proses Pekabaran Injil==
Kiai Tunggul Wulung dan Nyai Endang Sampurnawati tinggal di Mojowarno dan belajar kekristenan serta baca-tulis dari Jellesma selama dua bulan.<ref name="Soekotjo"/> Selanjutnya Kiai Tunggul Wulung mulai melakukan pekabaran Injil yang dimulai di desa [[Pelar]], sebelah tenggara Dimoro dan melanjutkan pekabaran Injilnya ke Dimoro ([[Kepanjen]]), Jenggrik ([[Malang]]) dan di Jungo ([[Pandaan]]).<ref name="Yolder"/> Di wilayah-wilayah itulah Kiai Tunggul Wulung mendirikan komunitas-komunitas Kristen.<ref name="Yolder"/> Pada awal tahun 1854, Kiai Tunggul Wulung menerima tawaran Sem Sampir (murid Jellesma yang diperbantukan kepada Pieter Jansz di Jepara sebagai pembantu penginjil pribumi) untuk membantunya melakukan pekabaran Injil di wilayah Jepara.<ref name="Soekotjo"/> Bersama Sem Sampir, Tunggul Wulung justru melakukan penginjilan di daerah Kabupaten Juwono, serta di Margotuhu Klitheh dan Ngluwang (sebelah utara Tayu).<ref name="Soekotjo"/> Tindakan tersebut membuat geger para penguasa kolonial karena ternyata ada seorang Jawa yang menjadi Kristen, menerima pelajaran agama Kristen dan memberitakan Injil di antara orang pribumi.<ref name="Soekotjo"/> Keadaan tersebut membuka mata para pemerintah kolonial mengenai adanya kekristenan Jawa yang berada di luar utusan-utusan Injil Eropa dan dilakukan secara bebas tanpa terbatasi oleh wilayah tertentu seperti yang berlaku bagi para utusan Injil Eropa.<ref name="Soekotjo"/>
 
[[Berkas:Ansicht Japare Java.jpg|kiri|thumb|Lukisan ''City of Jepare'' (sekarang: Jepara) pada 1650 dengan latar Gunung Muria]]