Agenda HKBP (buku): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
PT06Yanti (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
PT06Yanti (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
 
== Urutan Tata Ibadah dalam Agenda Tahun 1904 ==
== Dasar teologis tata ibadah Minggu HKBP menurut F.Tiemeyer ==
Untuk menjadikan dasar teologis tata ibadah Minggu HKBP, F.Tiemeyer mengambil alih dasar teologis tata ibadah injili sebagaimana beliau temukan dalam sejarah tata ibadah - tata ibadah terdahulu dalam lima zaman yang beliau paparkan di atas, mulai dari zaman umat Yahudi hingga zaman pasca-Reformasi. Kesimpulan beliau ialah bahwa tata ibadah Injili selalu mengedepankan tindakan Allah bersama jemaat-Nya.
Itulah yang diisyaratkan ibadah yang diawali oleh rumusan “’Dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus’” ( Votum ). Ibadah Injili bukan dibuka oleh sebuah nyanyian ( oleh jemaat ). Ini mau menjelaskan , bahwa manusia ( dalam hal ini liturgis ) bukan bertindak atas kekuatan atau wibawa jemaat atau pribadi sendiri tetapi atas penugasan Allah yang berindak itu. Dan makna serta arti sebuah nyanyian yang dinyanyikan bersama oleh jemaat dan pendeta ( liturgis ) hendaknya mengisyaratkan pernyataan bersama akan kehadiran Allah dan kerelaan jemaat untuk sujud dan berdoa di hadapan Allah. Suara Allah yang gemuruh hendaknya bergaung untuk menyadarkan manusia supaya rela melepaskan diri dari roh yang selalu ingin menguasai ( Allah ). Suara Allah seperti itu pernah didengar oleh Musa saat dia menggembalakan ternak mertuanya Yetro : “’Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.’” ( Kel. 3:5 ). Kutiban ini mau mengingatkan setiap orang yang mau menyusun atau membaharui tata ibadah ( HKBP ) agar selalu mewaspadai bahwa pengaruh kehadiran Allah selalu membangkitkan rasa terkejut ( Erschrecken ), penyesalan ( Reue ) dan pertobatan ( Busse ). Itulah sebabnya dalam ibadah nampak unsur pengakuan dosa dari pihak jemaat ( bersama liturgis ). Baik liturgis maupun jemaat sama-sama pihak yang berdosa di hadapan Allah. Ketergerakan hati dan pikiran mengaku dosa mendorong manusia untuk rindu menerima pengampunan dosa melalui janji anugerah melalui pembacaan firman Allah ( yang dikutib dari Alkitab ). Setiap orang akan tergerak hatinya mengatakan: “ya Tuhan Yesus, seandainya Engkau tidak ada dekatku, apalah saya ini!” Pengakuan dosa dan pengampunan dosa tersebut dilanjutkan oleh sebuah doa jemaat. Doa tersebut akan mengantar pengkhotbah yang akan memberitakan firman Tuhan, artinya pengkhotbah bertindak sebagai mulut Allah pada hal dia juga adalah orang berdosa ; dan itulah sebabnya jemaat mendoakan pengkhotbah dan jemaat itu sendiri, agar Allah sendiri yang akan membuka hati, mulut dan telinga mereka untuk memahami dan menerima firman Tuhan. Doa ini dilanjutkan dengan sebuah nyanyian khusus untuk menghantar khotbah yang akan segera disampaikan oleh pengkhotbah. Melalui khotbah Allah berbicara kepada jemaat yang datang dalam sikap penyesalan dan rasa serba kekurangan. Allah datang melalui firman yang disampaikan melalui khotbah. Allah menyampaikan pengampunan dosa terhadap jemaat yang berhimpun itu. Allah menyampaikan seluruh kekayaan anugerahnya kepada jemaat. Ini pula yang diisyaratkan salam anugerah dari pengkhotbah. Inti sari dari khotbah ialah: firman Allah selalu punya kekuatan untuk mengikat ( bindend ) dan membebaskan ( loesend ). Jemaat terikat untuk tetap setia terhadap tuntutan Allah: “’engkau adalah milik-Ku!”. Allah membebaskan orang-orang yang telah menyesali dosa-dosanya :”’pergilah dalam damai, imanmu telah menolong engkau!’”. Kemudian pengkhotbah dan jemaat mengucapkan doa ucapan terimakasih kepada Allah yang mencurahkan anugerahnya yang melimpah itu dan ini diakhiri dengan sebuah nyanyian. Memang anugerah Allah tidak akan berkesudahan. Setiap hari kasih karunianya selalu baru. Dalam situasi yang demikian, jemaat bangkit berdiri untuk mengucapkan Pengakuan Percaya ( Kredo = Aku percaya ). Artinya, melalui firman Allah yang disampaikan melalui khotbah, jemaat dipanggil kembali untuk mengucapkan pengakuan umat Allah sepanjang abad kepada Allah bersama-sama dengan seluruh umat Allah di dunia ini, baik jemaat terdahulu, maupun jemaat terkini dan jemaat yang akan datang. Bersama-sama dengan umat Allah sepanjang zaman, jemaat yang berkumpul itu patut mengucapkan kembali Pengakuan Percaya yang universal itu. Menurut Tiemeyer, di sini yang berbicara bukan perasaan ( Gefuehl ) yang sangat subjektif itu, tetapi Pengakuan yang walaupun dengan kata-kata yang diulangi dan dengan pikiran yang cerah. Kemudian jemaat bernyanyi. Melalui nyanyian itu, jemaat diingatkan akan tanggungjawab jemaat terhadap kehidupan orang-orang yang berkekurangan, terhadap tanggungjawab jemaat terhadap tugas pelayanan Allah di seluruh dunia ( diakonia ). Itulah alasannya maka jemaat mengumpulkan persembahan ( “Kollekte” ). Kemudian dilanjutkan dengan doa penutup. Jemaat menyampaikan doa pujian dan terimaksih atas perbuatan Tuhan Allah di dalam dan melalui firman-Nya dan kepedulian Allah kepada Gereja-Nya dalam segala kekuatan dan kekurangannya, dan atas kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada jemaat-Nya untuk menyampaikan persembahannya ke hadapan takhta Tuhan Allah yang mulia itu; dan ini semuanya permohonan itu dirangkum dalam doa “Bapa kami”. Dan di dalam berkat Allah dan janji perlindungan-Nya bagi jemaat yang selalu menghadapi berbagai cobaan, serta diakhiri nyanyian permohonan : Sai tiop ma tanganhu ( “So nimm denn meine Haende” ), maka jemaat kembali ke dunia sehari-hari, menjalani kehidupan sehariannya, dan di sana akan mempelajari, bahwa seluruh hidup ini adalah sebuah ibadah kepada Tuhan Allah ( “Gottesdienst” ), bahwa hidup kita seutuhnya adalah sebuah pertobatan.
Semua yang beliau paparkan di atas itu didorong oleh kemauan dan komitmen bukan untuk mengejar sebuah bentuk atau bahkan sebuah bentuk baru tata ibadah, tetapi lebih banyak didorong oleh minat dan kerinduan supaya tata ibadah tetap berazaskan tindakan Tuhan Allah, kehadiran Tuhan Allah ditengah-tengah jemaat yang beribadah itu. Beliau mengulangi lagi bahwa Yesus tetap berada di dalam bait suci Israel, tetapi kemudian meruntuhkannya. Martin Luther telah mengambil alih bentuk liturgi Messe yang lama ( Gereja Katolik Roma ), tetapi kemudian merombaknya untuk Gereja Reformasi. Beliau mengutib ungkapan reformatoris ini :”’Roh itulah yang menghidupi’”. Kemudian kutiban ini dilanjutkan oleh kalimat yang dialektis, bahwa kita masih hidup dalam daging dan dalam sebuah bentuk yang nyata, dan oleh karena itulah dalam bentuk yang bersifat sementara itu, kita wajib mencari sebuah bentuk ( tata ibadah ), yang dalam bentuk yang fana itu kita akan menyimpan isi yang mendekati kepenuhan yang diharapkan. Demikian F.Tiemeyer mengakhiri paparannya tahun 1936.