Agenda HKBP (buku): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
PT06Yanti (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
PT06Yanti (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
Sejak awal pekabaran Injil di Tanah Batak 1850-an) oleh para penginjil (Protestan) Eropa keinginan untuk pengadaan sebuah [[liturgi]] atau tata ibadah minggu dan peristiwa-peristiwa gerejawi lainnya sudah menggema dan upaya untuk itu sudah dilakukan. Ini nampak dari laporan-laporan para penginjil, seperti yang nampak dari laporan kegiatan pengabaran Injil di lembah Silindung (Batak – Toba) oleh Ingwer Ludwig Nommensen (Hutadame), Peter H.Johannsen (Pansurnapitu) dan August Mohri.(Sipoholon). Mereka di tempat pelayanan masing-masing telah membuat gagasan-gagasan awal untuk menciptakan tata ibadah minggu, ibadah baptisan, perjamuan kudus, peneguhan sidi, pernikahan, dll. Dan ini semuanya telah bermuara pada sebuah buku Agenda, dan besar kemungkinan Agenda edisi pertama ialah Agenda 1904, yang menjadi acuan bagi paparan kita dalam mencari dasar-dasar teologis dan praktis sebuah Agenda HKBP untuk dipakai masa mendatang. Dugaan ini didukung oleh adanya sebuah buku pedoman dan penjelasan tata ibadah serta kelengkapannya, yang telah dipublikasikan melalui edisi bahasa Jerman terbit tahun 1906 dan edisi bahasa Batak ( Toba ) tahun 1907.
 
== UrutanDasar Tatateologis Ibadahtata dalamibadah AgendaMinggu Tahun 1904HKBP ==
=== Dasar teologis tata ibadah Minggu HKBP menurutMenurut F.Tiemeyer ===
Untuk menjadikan dasar teologis tata ibadah Minggu HKBP, F.Tiemeyer mengambil alih dasar teologis tata ibadah injili sebagaimana beliau temukan dalam sejarah tata ibadah - tata ibadah terdahulu dalam lima zaman yang beliau paparkan di atas, mulai dari zaman umat Yahudi hingga zaman pasca-Reformasi. Kesimpulan beliau ialah bahwa tata ibadah Injili selalu mengedepankan tindakan Allah bersama jemaat-Nya.
Itulah yang diisyaratkan ibadah yang diawali oleh rumusan “’Dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus’” ( Votum ). Ibadah Injili bukan dibuka oleh sebuah nyanyian ( oleh jemaat ). Ini mau menjelaskan , bahwa manusia ( dalam hal ini liturgis ) bukan bertindak atas kekuatan atau wibawa jemaat atau pribadi sendiri tetapi atas penugasan Allah yang berindak itu. Dan makna serta arti sebuah nyanyian yang dinyanyikan bersama oleh jemaat dan pendeta ( liturgis ) hendaknya mengisyaratkan pernyataan bersama akan kehadiran Allah dan kerelaan jemaat untuk sujud dan berdoa di hadapan Allah. Suara Allah yang gemuruh hendaknya bergaung untuk menyadarkan manusia supaya rela melepaskan diri dari roh yang selalu ingin menguasai ( Allah ). Suara Allah seperti itu pernah didengar oleh Musa saat dia menggembalakan ternak mertuanya Yetro : “’Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.’” ( Kel. 3:5 ). Kutiban ini mau mengingatkan setiap orang yang mau menyusun atau membaharui tata ibadah ( HKBP ) agar selalu mewaspadai bahwa pengaruh kehadiran Allah selalu membangkitkan rasa terkejut ( Erschrecken ), penyesalan ( Reue ) dan pertobatan ( Busse ). Itulah sebabnya dalam ibadah nampak unsur pengakuan dosa dari pihak jemaat ( bersama liturgis ). Baik liturgis maupun jemaat sama-sama pihak yang berdosa di hadapan Allah. Ketergerakan hati dan pikiran mengaku dosa mendorong manusia untuk rindu menerima pengampunan dosa melalui janji anugerah melalui pembacaan firman Allah ( yang dikutib dari Alkitab ). Setiap orang akan tergerak hatinya mengatakan: “ya Tuhan Yesus, seandainya Engkau tidak ada dekatku, apalah saya ini!” Pengakuan dosa dan pengampunan dosa tersebut dilanjutkan oleh sebuah doa jemaat. Doa tersebut akan mengantar pengkhotbah yang akan memberitakan firman Tuhan, artinya pengkhotbah bertindak sebagai mulut Allah pada hal dia juga adalah orang berdosa ; dan itulah sebabnya jemaat mendoakan pengkhotbah dan jemaat itu sendiri, agar Allah sendiri yang akan membuka hati, mulut dan telinga mereka untuk memahami dan menerima firman Tuhan. Doa ini dilanjutkan dengan sebuah nyanyian khusus untuk menghantar khotbah yang akan segera disampaikan oleh pengkhotbah. Melalui khotbah Allah berbicara kepada jemaat yang datang dalam sikap penyesalan dan rasa serba kekurangan. Allah datang melalui firman yang disampaikan melalui khotbah. Allah menyampaikan pengampunan dosa terhadap jemaat yang berhimpun itu. Allah menyampaikan seluruh kekayaan anugerahnya kepada jemaat. Ini pula yang diisyaratkan salam anugerah dari pengkhotbah. Inti sari dari khotbah ialah: firman Allah selalu punya kekuatan untuk mengikat ( bindend ) dan membebaskan ( loesend ). Jemaat terikat untuk tetap setia terhadap tuntutan Allah: “’engkau adalah milik-Ku!”. Allah membebaskan orang-orang yang telah menyesali dosa-dosanya :”’pergilah dalam damai, imanmu telah menolong engkau!’”. Kemudian pengkhotbah dan jemaat mengucapkan doa ucapan terimakasih kepada Allah yang mencurahkan anugerahnya yang melimpah itu dan ini diakhiri dengan sebuah nyanyian. Memang anugerah Allah tidak akan berkesudahan. Setiap hari kasih karunianya selalu baru. Dalam situasi yang demikian, jemaat bangkit berdiri untuk mengucapkan Pengakuan Percaya ( Kredo = Aku percaya ). Artinya, melalui firman Allah yang disampaikan melalui khotbah, jemaat dipanggil kembali untuk mengucapkan pengakuan umat Allah sepanjang abad kepada Allah bersama-sama dengan seluruh umat Allah di dunia ini, baik jemaat terdahulu, maupun jemaat terkini dan jemaat yang akan datang. Bersama-sama dengan umat Allah sepanjang zaman, jemaat yang berkumpul itu patut mengucapkan kembali Pengakuan Percaya yang universal itu. Menurut Tiemeyer, di sini yang berbicara bukan perasaan ( Gefuehl ) yang sangat subjektif itu, tetapi Pengakuan yang walaupun dengan kata-kata yang diulangi dan dengan pikiran yang cerah. Kemudian jemaat bernyanyi. Melalui nyanyian itu, jemaat diingatkan akan tanggungjawab jemaat terhadap kehidupan orang-orang yang berkekurangan, terhadap tanggungjawab jemaat terhadap tugas pelayanan Allah di seluruh dunia ( diakonia ). Itulah alasannya maka jemaat mengumpulkan persembahan ( “Kollekte” ). Kemudian dilanjutkan dengan doa penutup. Jemaat menyampaikan doa pujian dan terimaksih atas perbuatan Tuhan Allah di dalam dan melalui firman-Nya dan kepedulian Allah kepada Gereja-Nya dalam segala kekuatan dan kekurangannya, dan atas kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada jemaat-Nya untuk menyampaikan persembahannya ke hadapan takhta Tuhan Allah yang mulia itu; dan ini semuanya permohonan itu dirangkum dalam doa “Bapa kami”. Dan di dalam berkat Allah dan janji perlindungan-Nya bagi jemaat yang selalu menghadapi berbagai cobaan, serta diakhiri nyanyian permohonan : Sai tiop ma tanganhu ( “So nimm denn meine Haende” ), maka jemaat kembali ke dunia sehari-hari, menjalani kehidupan sehariannya, dan di sana akan mempelajari, bahwa seluruh hidup ini adalah sebuah ibadah kepada Tuhan Allah ( “Gottesdienst” ), bahwa hidup kita seutuhnya adalah sebuah pertobatan.
Semua yang beliau paparkan di atas itu didorong oleh kemauan dan komitmen bukan untuk mengejar sebuah bentuk atau bahkan sebuah bentuk baru tata ibadah, tetapi lebih banyak didorong oleh minat dan kerinduan supaya tata ibadah tetap berazaskan tindakan Tuhan Allah, kehadiran Tuhan Allah ditengah-tengah jemaat yang beribadah itu. Beliau mengulangi lagi bahwa Yesus tetap berada di dalam bait suci Israel, tetapi kemudian meruntuhkannya. Martin Luther telah mengambil alih bentuk liturgi Messe yang lama ( Gereja Katolik Roma ), tetapi kemudian merombaknya untuk Gereja Reformasi. Beliau mengutib ungkapan reformatoris ini :”’Roh itulah yang menghidupi’”. Kemudian kutiban ini dilanjutkan oleh kalimat yang dialektis, bahwa kita masih hidup dalam daging dan dalam sebuah bentuk yang nyata, dan oleh karena itulah dalam bentuk yang bersifat sementara itu, kita wajib mencari sebuah bentuk ( tata ibadah ), yang dalam bentuk yang fana itu kita akan menyimpan isi yang mendekati kepenuhan yang diharapkan. Demikian F.Tiemeyer mengakhiri paparannya tahun 1936.
 
=== Menurtu Dr. Justin Sihombing ===
Masih ada penjelasan tentang susunan mata cara tata ibadah minggu yang harus diperhatikan, yakni dari kalangan para pendeta HKBP masa kepemimpinan para misionaris RMG dan pada awal masa kemandirian HKBP ( sejak 10-11 Juli 1940 ). Diantara mereka ialah Pdt. M. Pakpahan dan Pdt. Dr.Justin Sihombing, Ephorus Emeritus kedua dari kalangan pendeta HKBP ( 1942-1962 ).
Pada kesempatan ini cukup kalau diambil pikiran dan penjelasan dari Justin Sihombing, yang dalam usia lanjut masih menyeselaikan sebuah buku tentang khotbah dan tata ibadah HKBP tahun 1963. Beliau melihat bahwa sedikitnya ada empat hal yang mendasar yang harus dipenuhi oleh sebuah tata ibadah Minggu.
Pertama, tata ibadah itu harus mencerminkan makna dan arti dari persekutuan kristiani,yakni “parsaoran ni Debata dohot huria-Na dohot parsaoran ni huria dohot Debata.” Artinya, persekutuan Allah dengan gereja-Nya dan persekutuan gereja dengan Allah.” Segala sesuatu yang tidak mendukung unsur hakiki, hendaknya dijauhkan, sebaliknya segala sesuatu yang mendukungnya hendaknya diupayakan. Lebih jauh lagi, beliau menekankan bahwa persektuan gereja dengan Allah, bukanlah persekutuan seseorang dengan Allah, karena itu apa yang hanya menguntungkan orang per-orang hendaknya jangan dilakukan dalam ibadah itu, tetapi segala sesuatu yang terjadi dalam ibadah, hendaknya berkaitan dengan kepentingan “hatopan” ( umum / public ). Beliau sangat mengedepankan arti dan makna sebuah “huria”, sebuah Gereja, persekutuan orang-orang percaya; Gereja yang aktif, bukan individunya orang –perorang. Ketika pemberitaan firman diberikan melalui khotbah, maka yang menjawab bukan individu, tetapi jemaat sekalipun bukan dengan suara yang kedengaran, tetapi melalui suara hati para pendengar khotbah itu. Beliau menjelaskan makna yang terdalam dari persekutuan itu dengan menerapkannya akan apa arti sebuah nyanyian atau paduan suara dalam ibadah. Beliau mengatakan, bahwa “rapna I do pangkal manang ojahan ni parendeon di bagasan parpunguan Kristen, ndada holan ende ni angka koor. Ai ndada holan na marende na arga, alai na rap marende I do. .. ai ia merande pe angka koor ala na dipasahat huria I do tu nasida…. Ingkon domu do parendeonnasida tu pangkilaan ni hria na mangutus nasida taringot tu ganjang ni ende, loguna dohot hata ni ende i. Asa ndang na bebas nasida mambahen lomo-lomona. ” Misalnya, dalam sebuah doa, kata yang digunakan ialah kata “kami”, bukan “saya”
Kedua, adapun caranya Allah bersekutu dengan gereja /jemaat-Nya ialah melalui manusia yang Allah utus bagi jemaat itu. Dan cara yang dipakai oleh utusan Allah hanya satu, yakni melalui pemberitaan firman itu ( “marhite sian na mangkatahon hata I sambing. ) Masih ada pendukungnya, yakni berupa symbol untuk lebih menekankan arti dan makna firman itu sendiri. Pada saat melayankan kedua sakramen, di sana muncul juga bebagai bahasa atau gerakan simbolis, misalnya pada saat memercikkan air baptisan dan mempersiapkan tanda-tanda nyata perjamuan kudus dalam rupa roti dan anggur, atau pada saat liturgis mengangkat kedua tangannya saat menyampaikan berkat Tuhan Allah; juga pada saat jemaat berdiri. Semuanya itu punya muatan simbolis. Beliau menekankan, bahwa muatan-muatan simbolis itu bukan untuk mensahkan apa yang dilayankan itu, hanya sebagai alat menolong penghayatan atau penerimaan sakramen itu.
Ketiga, dia yang berbicara ditengah-tengah persekutuan yang beribadah itu bertindak sebagai wakil jemaat untuk berbicara kepada Tuhan Allah melalui doa, atau sebagai wakil Allah menyapa jemaat itu melalui khotbah . Dan menurut beliau, mereka yang bertindak sebagai wakil Allah dan juga sebagai wakil jemaat, tidak perlu harus seorang pendeta atau guru , tetapi dia harus yang diangkat ( “pinabangkit” ) oleh jemaat itu; artinya, dia yang diberi oleh jemaat wewenang dan tugas untuk melakukannya. Seseorang tidak berhak mengangkat dirinya untuk berdiri di depan jemaat sebagai wakil Allah dan sekaligus sebagai wakil jemaat. Allah itu adalah Allah yang cinta keteraturan.
Keempat ( terakhir ), segala sesuatu yang terajdi dalam ibadah harus sesuai dengan kehadiran atau keberadaan ( “haadongon” ) Allah dalam persekutuan itu. Jemaat harus merasakan bahwa Allah hadir dari awal hingga akhir ibadah, bahwa jemaat itu bersekutu di hadapan Allah. Untuk itu,hedaknya diupayakan supaya ibadah itu dapat berjalan dengan keteduhan, jangan ada orang yang keluar masuk, jangan ada orang yang duluan keluar.
Beliau dalam memberikan penjelasan dan arti dari setiap mata acara ibadah , beliau mengacu pada tata ibadah dalam Agenda HKBP terakhir ( misalnya edisi 1998 ). Beliau tidak memberikan penjelasan kritis secara teologis-praktis sebagaimana dilakukan oleh F.Tiemeyer, tetapi menyampaikan penjelasan-penjelasan yang medukungnya dan mengingatkan jemaat khusunya para liturgis / pengkhotbah; sikap tidak sungguh-sungguh dan acak-acakan hendaknya dijauhkan. Misalnya, ketika jemaat bernyanyi, hendaklah jemaat merasakan bahwa melalui nyanyian itu jemaat ingin berbicara dengan Allah. Mustahil jemaat berbiacara dengan Allah dengan suara yang dilagukan secara tidak baik; makanya setiap anggota jemaat harus mengetahui melodi dari nyanyian dalam Buku Ende HKBP, karena itulah harta yang sangat berharga. Atau, ketika liturgis menyampaikan votum, “patut tarsunggul di bagasan rohana nang di roha ni huria I, angka na binahen ni Debata Ama na tarsurat di Padan na Robi sahat ro di nuaeng.” Artinya, mendengar nama Allah Tritunggal itu, maka liturgis dan jemaat terus merasakan dalam batin mereka alangkah besarnya dan banyaknya tindakan Allah demi keselamatan umat-Nya sepanjang zaman.
 
== Urutan Tata Ibadah dalam Agenda HKBP ==