Aksara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-diantara +di antara)
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-didalam +di dalam)
Baris 225:
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
 
Kuatnya indegenous yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk mengatasi kesulitan tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi) bahasa-bahasa Nusantara dalam mengalihaksarakan bunyi pepet/ pepat (=tanda seperti ) aksara dalam suatu kata untuk menyatakan bunyi è; é; ê; æ; ë) dan hiatus (bunyi peralihan di antara dua monoftong berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau [[konsonan]] antara seperti sia – sya – sya; dua – duwa – dwa), semua unsur bunyi tersebut hanya dikenal didalamdi dalam kosakata (abjad) bahasa-bahasa daerah di Nusantara ([[Jawa]], [[Sunda]], [[Bali]], [[Sumatra]], atau [[Malayu]]) yang tidak dikenal dalam [[kosakata]] [[bahasa]] ataupun aksara pengaruh dari India. Ketiadaan inilah yang justru membedakan antara aksara Nusantara dan India, tanda-tanda bunyi sepenuhnya milik ”multlak” masyarakat Nusantara dan tentu saja harus dicantumkan ke bentuk aksara yang disebut diakritis.
 
Pada sejumlah naskah sumber tertulis dari masa lebih tua yang umumnya menggunakan bahasa [[Sanskrta]], kesulitan itu tidaklah terasa benar karena tidak mengenal tanda-tanda bunyi seperti itu sehingga dirasa tidak perlu mencantum-kannya, kecuali tanda-tanda diakritis. Mengatasi kesulitan itu sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama pada pokok kata, melainkan konsonan permulaan sukukata itu dirangkap dengan konsonan permulaan dari sukukata kedua seperti dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas, kdung pluk dan seterusnya. Meskipun diakui sang citralekha tidaklah selalu konsekwen pada sukukata yang sulit atau tidak mungkin dirangkap, maka tanda [ĕ] pepat di sini diganti menjadi bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken mapekan dan seterusnya (Boechari 1958)