Harijadi Sumodidjojo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
22Kartika (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
22Kartika (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22:
 
==Riwayat Hidup==
Harijadi Sumodidjojo dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1921 di [[Ketawangrejo, Grabag, Purworejo|Ketawang, Kutoardjo, Jawa Tengah]].<ref name="Ref1" /> Di beberapa sumber, tahun kelahirannya tercatat pada 1921.<ref name="Ref5">[http://prov.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/915/Harijadi+Sumodidjojo Ensiklopedi Jakarta:Harijadi Sumodidjojo] Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta. Diakses pada 14 Mei 2011.</ref> Ini dilakukan supaya dia bisa masuk menjadi Tentara Pelajar.<ref name="Ref4">Mistery of Batavia: Harijadi Sumodidjojo dan Muralnya (Halaman 4). Panduan yang diproduksi oleh LOPIAN & British Coucil.</ref> Ayah Harijadi bernama Samadi, seorang guru bantu dan kepala sekolah di Sekolah Rakyat Ongko Loro, Ketawangrejo, yang dikenal sebagai pecinta sastra dan karawitan.<ref name="Ref7" /> Sedangkan, ibunya bernama Ngadikem binti Mansur, anak juragan tembakau Jember, Jawa Timur.<ref name="Ref7" />
 
Sebelum menjadi seniman otodidak, Harijadi sempat menempuh pendidikan di bidang bisnis. Karir melukisnya diawali dengan bekerja sebagai pembuat poster film bioskop.<ref name="Ref5">[http://bataviase.co.id/node/643145 Bataviase.co.id], Mural di Kota Tua (17 April 2011). Diakses pada 14 Mei 2011.</ref> Di tahun 1940-1941, dia bekerja sebagai seniman komersial pada sebuah [[firma]] di Jakarta.<ref name="Ref4" /> Dia dikenal sebagai salah satu seniman tempaan SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan [[Sindoesoedarsono Soedjojono]] pada tahun 1940-an.<ref name="Ref1" /> Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Harijadi juga menjadi guru di Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP).<ref name="Ref7" />
 
Selama Perang Dunia II berlangsung, Harijadi sempat bergabung sebagai ahli [[meteorologi]] yang bekerja untuk [[Tentara Sekutu]] dan turut berperang di [[Malaya]] dan [[Sumatera]].<ref name="Ref4" /> Di tahun 1949, dia bergabung dengan Brigadir 17 dari [[TNI]] untuk bertempur di [[Yogyakarta]] selama revolusi berlangsung.<ref name="Ref4" /> Pada tahun 1965, Soekarno mengirim Harijadi untuk belajar mengenai [[museum]] di [[Meksiko]].<ref name="Ref4" /> Di sana, dia bertemu dengan seniman mural dan pelukis realis kiri Meksiko, Jose David Alvaro Siquiros.<ref name="Ref5" /> Dia menjadi salah satu anggota Organisacion International de Muralistos del Mundo di [[Amerika Selatan]].<ref name="Ref4" />
 
Semasa hidupnya, dia menikah sebanyak dua kali dan memiliki enam orang anak.<ref name="Ref4" /> Istrinya yang pertama bernama Sri Redjeki, tetangganya yang disukai sejak dulu. Kondisi ekonomi keluarga yang tida mapan membuat Sri meninggalkan Harijadi pada tahun 1948.<ref name="Ref7" /> Pada 1 Januari 1950, Harijadi menikah dengan Sumilah, pegawai Kementerian Pertahanan yang juga menjadi pengajar tari Serimpi kepada putri-putri ningrat Pura Mangkunegaran Solo.<ref name="Ref7" /> Untuk mencari penghasilan tambahan bagi keluarga, Sumilah membantu dengan berbagai cara, mulai dari berdagang sembako, menjual perhiasan, sampai menggadaikan batik tulis dan sepeda miliknya.<ref name="Ref7" /> Setelah Sumilah meninggal, Harijadi kembali menikah dengan Siti Habibah binti Natadilaga atas saran dari Sumilah yang merasa suaminya selalu memerlukan pendamping.<ref name="Ref7" />
 
Selain melukis, Harijadi mempelajari ilmu memboetseer (membuat patung dari tanah liat dengan model), memahat, seni interior dan etalase, serta arsitektur mebel.<ref name="Ref7" /> Dia pernah membuat [[relief]] [[Andesit|batu andesit]] berjudul ''Pesta Pura di Bali'', seluas 68 m² yang diletakkan di dinding [[Hotel Indonesia]].<ref name="Ref1" /> Sifat kritis dan idealisme Harijadi tampak dalam berbagai karyanya, Salah satunya adalah lukisan menggunakan wenter dan berjudul ''Makanan Kami'' (1948), menggambarkan dua ikan asin dan bawang merah dengan tulisan ''Makanan kami pelukis yang katanya klas bangsat yang katanya tidak punya visi''.<ref name="Ref7" />
 
==Mural di Museum Sejarah Jakarta==
Baris 36:
Pada awal tahun 1970-an, petugas [[PBB]] dalam bidang rencana pembangunan mengusulkan kepada [[Ali Sadikin]] selaku [[Gubernur Jakarta]] saat itu, untuk melakukan revitalisasi kawasan tua dan bersejarah di Jakarta sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan di bidang pariwisata.<ref name="Ref6">[http://202.137.10.134/index.php?option=com_k2&view=item&id=1640:mystery-of-batavia&Itemid=667 NOW! Jakarta], Mystery of Batavia (2 April 2011). Diakses pada 15 Mei 2011.</ref> Usulan tersebut diterima dan Ali Sadikin memanggil beberapa seniman untuk membuat karya yang menarik bagi bekas [[Balai Kota]] yang diubah menjadi [[Museum Sejarah Jakarta]].<ref name="Ref6" /> Pada awalnya, Harijadi Sumodidjojo direncanakan akan melukis di [[kanvas]] seluas 20 m² yang akan dipajang di salah satu ruangan museum itu.<ref name="Ref6" /> Ternyata, dia malah membuat [[mural]] secara langsung di permukaan dinding seluas 200 m².<ref name="Ref6" /> Bagian atas mural setinggi enam meter masih berupa sketsa tanpa warna dan tidak diselesaikan oleh Harijadi sampai akhir hayatnya.<ref name="Ref2" /> Lokasi museum yang berada sangat dekat dengan laut dan konstruksi bangunan abad ke-18 menyebabkan dinding tersebut menjadi terlalu [[lembab]] dan tidak bisa ditempeli [[cat]].<ref name="Ref6" />
 
Sejak tahun 1974, ruangan berisi mural tersebut sempat dipakai untuk penyimpanan objek [[etnografi]] sehingga dikenal sebagai Ruang Etnografi.<ref name="Ref6" /> Namun, ruangan itu akhirnya digunakan sebagai ruang penyimpanan barang karena petugas museum sulit menjelaskan keberadaan mural tersebut apabila ditanyakan oleh pengunjung.<ref name="Ref6" /> Hingga pada tahun 2010, sekelompok seniman Inggris dan Indonesia tak sengaja menemukan mural itu kembali.<ref name="Ref2" /> Mereka bekerja bersama berbagai ahli dalam dan luar negeri untuk menerjemahkan misteri [[lukisan]] tersebut dan membuatnya menjadi proyek Misteri Batavia yang dapat dinikmati melalui pertunjukkan interaktif.<ref name="Ref2" /><ref name="Ref7Ref8">[http://lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2011/04/10/09355258/Ayo.Cari.Pedang.Jayakarta Kompas.com], Liputan khusus:Ayo Cari Pedang Jayakarta! Ni Luh Made Pertiwi F, I Made Asdhiana (editor). Diakses pada 15 Mei 2011.</ref>
 
Secara keseluruhan, lukisan ini menggambarkan kehidupan di [[Batavia]] antara tahun 1980-1920. Interaksi manusia yang hidup bersama di kota itu diceritakan berasal dari berbagai [[kultur]] dan [[etnik]], mulai dari [[Melayu]], [[Arab]], [[Cina]], dan [[Eropa]].<ref name="Ref6" /> Di bagian atas [[mural]] yang belum diwarnai, terlukis [[Stasiun Jatinegara]], [[Harmoni]], [[Kota]], [[Sunda Kelapa|Pelabuhan Sunda Kelapa]] dan [[Tanjung Priok]], serta pecinan.<ref name="Ref6" /> Selain itu, digambarkan pula adanya pintu gerbang Amsterdam dan [[Kali Ciliwung]].<ref name="Ref2" /> Berbagai pemandangan sehari-hari yang terjadi di Batavia ditampilkan di mural tersebut, di antaranya suasana pasar, pedagang pikul dan gerobak dorong, [[nelayan]], saudagar Arab yang sedang mengawasi hasil laut, tukang cukur, pesta makan malam yang dihiasi budak, gambaran keluarga yang diusir dari rumahnya, serta pencopet yang berada di balik pesta topeng ondel-ondel.<ref name="Ref2" /><ref name="Ref6" /> Mural tersebut juga berisi berbagai model [[transportasi]] yang pernah ada di Batavia pada masa itu, mulai dari [[sado]] atau [[delman]] yang ditarik [[kuda]], [[sepeda]], [[trem]], mobil tua, hingga penggunaan Sungai Ciliwung.<ref name="Ref6" />