Suku Batak: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan terakhir (oleh 202.182.170.30) dan mengembalikan revisi 4365897 oleh Mimihitam: tak netral |
|||
Baris 160:
Sebagian orang [[Karo]], [[Angkola]], dan [[Mandailing]] tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di [[Kota Medan]], perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),<ref>{{cite book | last =Perret | first =Daniel | authorlink = | coauthors = | title =La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est | publisher =Ecole francaise d'Extreme-Orient | date = |
<gallery>
#REDIRECT [[Berkas:Contoh.jpg|Judul1
Berkas:Contoh.jpg|Judul2]]
<gallery>
Berkas:Contoh.jpg|Judul1
Berkas:Contoh.jpg|Judul2
</gallery>
</gallery>
on = Paris | url = | doi = | isbn = | page = 316-325 }}</ref> dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.<ref> {{en}} Leo Suryadinata, Evi Nurvidya arifin, Aris Ananta, [http://books.google.co.id/books?id=nFckUneBbRIC&dq=Indonesia%27s+Population:+Ethnicity+and+Religion+in+a+Changing+Political+Landscape&printsec=frontcover&source=bl&ots=C_BK8d_8vs&sig=4_QnkNN1VlxjKnTP_T7tYzTlhZ8&hl=id&ei=8FIaSqPEOY6CkQXD9kQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1#v=onepage&q=&f=false ''Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape''], Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, hal.48.</ref>
|