Hanyokrokusumo dari Mataram: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Zaini Suherly (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
Pada masa Sultan Agung, budaya yang dikembangkan di Jawa menurut para sejarawan [[Indonesia]] kontemporer adalah budaya pedalaman jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Ini berbeda dengan kebudayaan pada masa-masa sebelumnya yang berciri perniagaan dengan kesultanan dan daerah yang tumbuh di pesisir utara Jawa, terutama dilihat dari letak ibukotanya yang berada dipedalaman Jawa dan berorientasi kepada laut selatan yang bersifat mistis dengan kepercayaan pada ''[[Nyi Roro Kidul]]'', penguasa ghaib di laut selatan pulau Jawa yang konon memiliki perjanjian menikah dengan Raja-raja Mataram semenjak masa Panembahan Senapati sebagai bagian dari persekutuan mistis. Para sejarawan dan budayawan [[Sunda]] menyatakan sejak Sultan Agung menguasai daerah-daerah [[Priangan]] di [[Jawa Barat]] (kecuali daerah Kesultanan Banten), [[bahasa Sunda]] memiliki tingkatan yang sama dengan [[bahasa Jawa]] khususnya di ''[[Wilayah Mataraman]]'' yakni dikenal istilah ''bahasa sunda halus'' dan ''bahasa sangat halus'' yang sebelumnya tidak dikenal.
 
Sultan Agung juga memadukan budaya [[Islam]] dengan kebudayaan Jawa bahkan kebudayaan Jawa pra Islam. Diantaranya adalah menetapkan [[Penanggalan Jawa]] hasil perpaduan antara [[PenaggalanKalender Saka]] ([[Penanggalan Hindu]]) dengan [[Penanggalan Islam]] ([[Penanggalan Hijriah]]) yang dikenal sekarang dikalangan masyarakat Jawa. Selain itu, Sultan Agung juga dikenal mendalami karya-karya [[Sastra Jawa]] dan seni [[wayang]], diantaranya dengan menulis ''[[Sastra Gending]]'' dan ''[[Wayang Krucil]]''.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, secara umum dikenal sebagai masa puncak kejayaan Kesultanan Mataram.