Wilayah Kesultanan Banjar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 44:
# Wilayah '''Batang Lawai''' atau [[sungai Kapuas]] (Tanah Sanggau, [[Kerajaan Sintang|Tanah Sintang]] dan [[Lawai|Tanah Lawai]]).<ref>[http://books.google.co.id/books?id=KK4WAQAAIAAJ&dq=tajan&pg=PA570#v=onepage&q=tajan&f=true {{nl}} Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk Indonesia. Indonesian journal for natural science, Volume 2, 1851]</ref> Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari Majapahit dengan Dara Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. [[Kerajaan Sintang]] dan Mlawai ([[Kabupaten Melawi]]) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan oleh [[Sultan Adam]] kepada Hindia Belanda pada [[4 Mei]] [[1826]]. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang diserahkan oleh [[Sunan Nata Alam]] kepada VOC-Belanda pada [[13 Agustus]] [[1787]].
# Wilayah [[Kerajaan Sukadana|Tanah Sukadana]] (sebagian besar Kalbar)<ref>Cabang-cabang Kerajaan Tanjungpura/Sukadana merupakan sebagian besar Kalbar seperti [[Kerajaan Tayan]], [[Kerajaan Meliau]], [[Kerajaan Sekadau]], [[Kerajaan Mempawah]], tidak termasuk Sambas, Landak, [[Sanggau]], Sintang dan Mlawai/Melawi. Belakangan Sanggau ditaklukan Sultan Pontianak atas perintah VOC</ref> Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti.<ref name="hikayat banjar"/> Saat itu Raja Sukadana memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah menjadi [[kesultanan]], selanjutnya Panembahan Giri Mustaka bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun [[1661]] Sukadana/Matan terakhir kalinya Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal [[Kesultanan Banten]] setelah mengalami kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada [[26 Maret]] [[1778]], kemudian diserahkan oleh VOC di bawah pemerintahan Sultan Pontianak.<ref name="Soekmono">{{en}}{{cite book|url=http://books.google.co.id/books?id=cAyEYpbYUrsC&lpg=PA72&dq=sultan%20banjar&pg=PA72#v=onepage&q=sultan%20banjar&f=true |first=[[Prof. Dr. R. Soekmono|Soekmono]]|last=Soekmono | title=Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 3 | publisher= Kanisius, | year=1981 | isbn= 9794132918 }}ISBN [http://books.google.co.id/books?id=cAyEYpbYUrsC&lpg=PA2&pg=PA2#v=onepage&q&f=false 978-979-413-291-3]</ref>
# Wilayah terluar di barat adalah [[Kerajaan Sambas|Tanah Sambas]]. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu '''si Misim''' dan '''si Giwang''' kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan ([[1595]]-[[1642]]).<ref name="Tijdschrift 23">{{en}}{{cite journal|author=Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië |url=http://books.google.co.id/books?id=sAxBAAAAcAAJ&dq=panembahan%20Mabrhoem&pg=PA218#v=onepage&q=panembahan%20Mabrhoem&f=false|title=Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië |volume= 23|issue=1-2|pages=218 | year=1861 }}</ref><ref>{{nl icon}} {{cite journal|url=http://books.google.co.id/books?id=ghVJAAAAMAAJ&dq=Moestakim-billah&pg=RA1-PA243#v=onepage&q=Moestakim-billah&f=false |pages=243 |title=Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde |volume= 6 | author=Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia |publisher=Lange & Co.|year=1857}}</ref><ref name="hikayat banjar">{{ms}}{{cite book|first=[[Johannes Jacobus Ras|Johannes Jacobus]]|last=Ras|title=''[[Hikayat Banjar]]'' diterjemahkan oleh [[Siti Hawa Salleh]]|publisher=[[Malaysia]]: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka |year= 1990|isbn=9789836212405}}ISBN 983-62-1240-X</ref> Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan '''Si Misim''' kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada [[Sultan Agung]], raja Mataram pada tahun [[1641]] yang merupakan ''persembahan'' (bukan upeti) terakhir yang pernah dikirim kepada pemerintahan di Jawa ([[Kesultanan Mataram]]).<ref>[http://books.google.co.id/books?id=BJrFsQ0SwzgC&lpg=PA480&dq=1641%20banjarmasin%20mataram&pg=PA480#v=onepage&q=1641%20banjarmasin%20mataram&f=false {{id}} Abdul Gafar Pringgodigdo, Hassan Shadily, Ensiklopedi umum, Kanisius, 1973 ISBN 979-413-522-4, 9789794135228]</ref><ref name="Hermanus">{{id}} Hermanus Johannes de Graaf, Puncak kekuasaan Mataram: politik ekspansi Sultan Agung, Grafitipers, 1986</ref><ref name="suluh"> {{id}} Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan</ref> Semula [[Kerajaan Sambas]] diperintah oleh Dinasti [[Majapahit]] yang bergelar Pangeran Adipati Sambas, selanjutnya mulai tahun [[1675]] Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti [[Brunei]] dan berubah menjadi [[kesultanan]] bernama [[Kesultanan Sambas]] dan melepaskan diri dari BanjarmasinSukadana & SukadanaBanjarmasin. Tahun [[1855]] Sambas digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.<ref>[http://books.google.co.id/books?id=-Xb1s6ObxGgC&lpg=PA383&dq=borneo%20selatan&pg=PA381#v=onepage&q=borneo%20selatan&f=false {{id}} Bernard Dorléans, Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, ISBN 979-9100-50-X, 9789799100504]</ref>
 
Pada abad ke-18 Pangeran [[Tamjidullah I]] berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan [[Pangeran Nata Dilaga]] sebagai Sultan yang pertama sebagai '''Panembahan Kaharudin Khalilullah'''. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya '''Susuhunan Nata Alam''' pada tahun [[1772]]. Putera dari '''Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah''' yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun [[1757]], dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan '''Kapten Hoffman''' dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke [[Sri Langka]] pada tahun [[1787]]. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun [[1826]] diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan [[Sultan Adam]], berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan [[Putra Mahkota]] dan [[Mangkubumi]], yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya [[Perang Banjar]].