Bioskop: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ciko (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Ciko (bicara | kontrib)
Baris 4:
Bioskop pertama di [[Indonesia]] berdiri pada Desember [[1900]], di Jl Tanah Abang I, [[Jakarta Pusat]], karcis kelas I harganya dua [[gulden]] (perak) dan harga karcis kelas dua setengah perak.
 
Bioskop jaman dulu bermula di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas). Bangunan bioskop masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek dan beratapkan kaleng/seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot (nama dari pengusaha bioskop tsb). Bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama Schwarz. Tempatnya terletak kira-kria di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum akhirnya hancur terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru. Ada lagi bioskop yang bernama De Callone (nama pengusahanya) yang terdapat di Deca Park. De Callone ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang dijaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. De Callone adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang terdapat di [[Pintu Air]].
 
Bioskop-bioskop lain seperti, Elite di Pintu Air, Rex di [[Kramat Bunder]], Cinema di [[Krekot]], Astoria di Pintu Air, Centraal di [[Jatinegara]], Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di [[Hayam Wuruk]], Olimo, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jl. Veteran, Rembrant di Pintu Air, Widjaja di Jalan Tongkol/Pasar Ikan, Rivoli di [[Kramat]], dan lain-lain merupakan bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an.
 
Film-film yang diputar di dalam bioskp tempo dulu adalah film gagu alias bisu atau tanpa suara. Biasanya pemutaran di iringi musik orkes, yang ternyata jarang "nyambung" dengan film. Beberapa film yang kala itu yang menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx, Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll.
 
Di [[Jakarta]] pada tahun [[1951]] diresmikan [[bioskop Metropole]] yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas. Pada tahun [[1955]] bioskop Indra di [[Yogyakarta]] mulai mengembangkan kompleks bioskopnya dengan toko dan restoran.
 
Di Indonesia awal Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun bentuk dan sarana tempat pertunjukan. Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi film nasional 112 judul. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep [[sinepleks]] (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) semakin marak. Sinepleks-sinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan, pusat perbelanjaan, atau mal yang selalu jadi tempat nongkrong anak-anak muda dan kiblat konsumsi terkini masyarakat perkotaan. Di sekitar sinepleks itu tersedia pasar swalayan, restoran cepat saji, pusat mainan, dan macam-macam.
 
Sinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, tetapi juga menerobos kota kecamatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada "bioskop depan". Akibatnya, pada tahun [[1990]] bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan: 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun [[1987]], di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar.
 
==Pranala luar==
*{{id}} [https://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/02/Bentara/1059260.htm Bioskop, Konsumsi, Siasat]
 
{{commonscat|Cinemas}}