Sejarah homoseksualitas: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 67:
Hubungan sesama jenis banyak ditemui di masyarakat [[Melanesia]] (khususnya di [[Papua Nugini]]) dan telah menjadi bagian yang menyatu dengan budaya sampai pertengahan abad yang lalu. Suku [[Etoro]] dan [[Marind-anim]], misalnya, memandang heteroseksualitas sebagai dosa sementara homoseksualitas diterima secara umum. Dalam suku Etoro, misalnya, suku ini percaya bahwa kekuatan manusia, kekuatan vitalnya, ditemukan dalam air maninya. Suku ini mengajarkan dan percaya bahwa anak muda harus menelan air mani dari anggota suku yang lebih tua untuk menjadi dewasa. Hal ini secara harfiah diterjemahkan ke dalam hubungan homoseksual antara anak dan mentornya. Sang anak akan "dibuahi" (secara oral, anal, atau topikal, tergantung pada suku) selama beberapa tahun hingga tiba pada saat anak laki-laki tersebut telah tumbuh menjadi seorang pria yang kelak menjadi mentor untuk anak muda lain di sukunya. Pada saat itu, ia dinyatakan lulus pada kekuatan hidup. Suku Etoro juga percaya bahwa jika seorang wanita tidak hamil, dia telah menyia-nyiakan kekuatan hidup dan dianggap berada dalam kasta yang lebih rendah.
 
Meskipun demikian, semenjak masuknya Kristen oleh misionaris Eropa, banyak masyarakat Melanesia yang menolak hubungan sesama jenis.<ref name=melanesia>{{citation |title=Ritualized Homosexuality in Melanesia |first=Gilbert H. |last=Herdt |year=1984 |publisher=University of California Press |isbn=0520080963 |pages=128–136}}</ref><!--
 
Gender ketiga juga dapat ditemui di Kepulauan Pasifik. Contohnya, di [[Samoa]], ada gender ketiga yang disebut ''[[fa'afafine]]''. Fa'afafine adalah anak laki-laki kemayu yang dibesarkan sebagai perempuan, dan punya [[peran gender]] tersendiri dalam masyarakat Samoa.<ref>Saleimoa Vaai, Samoa Faamatai and the Rule of Law (Apia: The National University of Samoa Le Papa-I-Galagala, 1999).</ref>
-->
 
== Pertimbangan historiografis ==