#REDIRECT[[Institut Teknologi Bandung]]
{{gabungkepada|ITB}}
=Sejarah Kemahasiswaan ITB=
Berbicara mengenai sejarah kemahasiswaan ITB, maka kita harus merunut dari sejarah berdirinya ITB. ITB sendiri berdiri pada tahun 1920 dengan nama Technische Hoogeschool te Bandoeng. Kemudian menjadi Institute of Tropical Sciences (1942), Bandung Kogyo Daigaku (1944), Faculteit van Technische Tetencschaap en Faculteit van Exacte Wetenschap dari Unversiteit van Indonesie (1946), Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam, Universitas Indonesia (1950) serta menjadi ITB (2 Maret 1959). Periodisasi sejarah akan dibagi sesuai Periode Sejarah Indonesia.
==Masa Pergerakan Nasional==
Berawal pada 2 September 1920 pada jaman TH, sebuah organisasi bernama Bandungse Studenten Corps (BSC) berdiri. Sayangnya organisasi itu kurang mewakili aspirasi mahasiswa pribumi sehingga mahasiswa pribumi bersama dengan mahasiswa Cina membentuk organisasi baru bernama Indonesische Studenten Vereneging (ISV). Tetapi kemudian mahasiswa Cina memisahkan diri dan membentuk organisasi sendiri. Di bawah pimpinan Soekarno, mahasiswa Indonesia menggugat keberadaan Belanda di Indonesia dan membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia untuk memerdekakan diri.
==Masa Revolusi Fisik==
Di depan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada Oktober 1945, Otto Iskandar Dinata dan Ir. M. P. Soerahman membacakan ikrar bersama yang isinya menyatakan tekad mahasiswa untuk tidak kembali studi ke kampus selama kemerdekaan penuh bangsa Indonesia belum tercapai. Dalam pergerakannya menuju kemerdekaan Indonesia, banyak warga ganesa 10 yang ikut menyumbangkan jiwa raganya demi cita-cita bersama. Pada tanggal 13 April 1945 Lahir Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Bandung (SMFTB).
Karena peristiwa Bandung Lautan Api, segenap mahasiswa dan tenaga pengajar ikut hijrah ke Yogyakarta. Di sana mereka mendirikan Sekolah Tinggi Teknik yang akan menjadi cikal-bakal [[Universitas Gadjah Mada]]
==Masa Demokrasi Liberal==
Pada masa ini banyak bermunculan Himpunan Mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan bersama dalam masalah akademik per bagian/jurusan. Namun karena adanya politisasi mahasiswa oleh organ ekstra kampus, antara lain oleh [[GMNI]], [[CGMI]], Gemsos, [[HMI]], dan lain-lain, maka Senat-Senat mendirikan Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1955. Ketua DM UI yang pertama yaitu Emil Salim. DM UI bertujuan memenuhi kebutuhan mahasiswa yang riil di bidang akademik, kekeluargaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan.
==Masa Demokrasi Terpimpin==
Pada tanggal 29 November 1960, Dewan Mahasiswa ITB dibentuk sebagai hasil peleburan 3 Senat Mahasiswa Departemen (yang ketika di bawah UI adalah Fakultas) yaitu Senat Teknik, FIPIA, serta Ilmu Kimia dan Ilmu Hayati. Dewan Mahasiswa ITB beranggotakan Himpunan Mahasiswa Bagian/Jurusan dan terdiri dari Sidang DM yang beranggotakan Wakil-wakil Himpunan, serta Badan Pekerja sebagai eksekutif yang ditunjuk oleh Sidang DM ITB. Ketua DM ITB yang pertama adalah Piet Corputty.Pada tahun 1961, DM ITB mendukung usaha pembebasan Irian Barat (Papua) dengan mendirikan Batalyon 1 ITB/Resimen Mahasiswa Mahawarman. Yon 1/Menwa juga merupakan bentuk aliansi mahasiswa-militer untuk melawan nasakomisasi yang sangat menghebat di saat itu.<br>
Pada tanggal 10 Mei 1963, Ketua Umum DM ITB Muslimin Nasution terlibat peristiwa 10 Mei, sebuah peristiwa yang mencerminkan ketidakadilan sosial dan sedikit berbau rasial (karena yang menjadi korban adalah etnis Cina). Muslimin Nasution diganjar hukuman 3 tahun penjara akibat peristiwa tersebut. Saat itu juga sebenarnya DM ITB sedang berkonfrontasi dengan organ poros Nasakom yaitu [[GMNI]], [CGMI]], Perhimi, dan Germindo yang mencap kepengurusan DM ITB belum mencerminkan poros Nasakom. Oleh kekuatan anti nasakom saat itu, DM ITB dijuluki 'The Last Stronghold'.
Sekitar akhir Desember 1964, delegasi DM ITB dipimpin Fred Hehuwat mengikuti Kongres Majelis Mahasiswa Indonesia (Federasi Organ Intra Kampus) di Malino, Sulawesi Selatan. Saat itu DM ITB bersama DM UI, dan DM UNPAD disingkirkan dari kedudukan Presidium MMI karena dianggap kontra-revolusioner, sebuah julukan yang mngerikan saat itu. DM ITB akhirnya dikeluarkan dari MMI akibat tidak mengakui Presidium MMI, sedangkan DM UI dan UNPAD berhasildirebut oleh poros Nasakom. Akibatnya DM ITB terkucilkan dari pergaulan antar mahasiswa.
==Masa Orde Baru==
Terjadinya Gerakan 30 September di Jakarta mengakibatkan terhentinya acara Masa Prabhati Mahasiswa (Mapram) 1965. Pada tanggal 7 Oktober 1965, 500 Mahasiswa Bandung berkumpul di taman Cibeunying untuk mengadakan aksi keprihatinan atas kondisi bangsa pasca G 30 S. KAMI dibentuk pada 25 Oktober 1965, disusul KAPPI dan KASI; serta mengadakan aksi Tritura yang menuntut pembubaran PKI ean organsasi dibawahnya, termasuk CGMI. KAMI Bandung yang dipimpin oleh DM ITB, UNPAD, dan UNPAR saat itu sempat mengirikan 200 Kontingen Mahasiswa untuk membantu aksi-aksi mahasiswa Jakarta yang sedang terdesak akibat terbunuhnya beberapa demonstran.<br>
Pada tanggal 25-28 Juli 1966 diadakan musyawarah kerja Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM-ITB) dengan hasil sebagai berikut:
* Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) ITB adalah badan legislatif yang beranggotakan Senator Himpunan Mahasiswa. MPM bertugas memilih formatur untuk membentuk kepengurusan Dewan Mahasiswa.
* DM ITB adalah badan eksekutif yang melaksanakan garis-garis besar dalam kehidupan kemahasiswaan yang telah ditetapkan oleh Permusyawaratan Mahasiswa ITB. Badan ini dibentuk oleh MPM dan bertanggung jawab kepada MPM.
* Badan Pertimbangan Mahasiswa (BPM) ITB: terdiri dari wakil-wakil organisasi mahasiswa extra universiter(minus CGMI, Germindo, Resimen Mahasiswa, dan wakil-wakil badan kerja yang berstatus otonom). BPM tidak berada di bawah DM ITB, bertugas memberi saran dan pertimbangan terhadap DM (diminta maupun tidak).
Pasca aksi Tritura '66, Ketua-ketua Dewan Mahasiswa seperti Sarwono Kusumaatmadja (1968-1969), Wimar Witoelar (1969-1970), dan Syarif Tando (1970-1971) memelopori gerakan 'Back to Campus'. Intinya mahasiswa harus kembali melaksanakan tugasnya yaitu belajar dan segera meninggalkan politik praktis. DM ITB menolak adanya wakil-wakil mahasiswa di DPR, bahkan pada tahun 1969, DM ITB menyatakan keluar dari KAMI.
==Dekade 70an==
===Dari Tragedi Rene L Conraad Menuju Malari 1974===
DM ITB di bawah kepemimpinan Syarif Tando (1970-1971) memprakarsai konsolidasi DM se-Asia Tenggara. Kemahasiswaan disemarakkan dengan bermunculannya Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa. Pada tahun 1970, Student Center didirikan di tengah-tengah kampus ITB dan menjadi pusat kegiatan mahasiswa. Kampus ITB saat itu ramai dengan kegiatan mahasiswa. Namun membaiknya kemahasiswaan tidak diimbangi dengan membaiknya masyarakat. DM ITB di bawah Syarif Tando dan Bambang Warih Kusuma sebagai Sekum memberikan pernyataan keprihatinan atas kondisi bangsa saat itu, antara lain menguatnya otoriterisme ABRI dalam memimpin negara.<br>
Namun DM ITB bukannya tidak berusaha memperbaiki hubungan tersebut. Atas usaha Syarif Tando, Rektor ITB Doddy Tisnaamidjaya, dan adiknya Kombes Pol Tjutju Sumirat (yang juga Kapoltabes Bandung) pada tanggal 6 Okotber 1970 mengadakan pertandingan persahabatan antara taruna Akpol angkatan 1970 dengan mahasiswa ITB. Taruna Akpol angkatan 1970 adalah angatan pertama yang mengintegrasikan kurikulum militer dan kepolisian. Alumni sempat menduduki jabatan penting seperti Nugroho Djayusman, Hamami Nata, Bimantoro, Rusdihardjo, dll.<br>
Pertandingan berlangsung panas, bahkan sampai tawuran antara mahasiswa dan taruna. Pertandingan dihentikan, dan taruna Akpol keluar dengan truk menuju gerbang Ganesha. Saat itulah seorang mahasiswa bernama Rene Louis Conraad (Elektro '70) masuk ke dalam kampus dengan motor HD. Ia diludahi dari atas truk. Saat Rene berhenti dan menanyakan siapa yang meludahinya, taruna-taruna tersebut malah turun semua dan mengeroyokinya Rene sampai tewas. Kejadian ini sempat dibawa ke pengadilan, namun yang terkena vonis penjara adalah seorang bintara polisi Sersan Djani Maman Suryaman, yang kebetulan sedang patroli di daerah ujung barat jalan Ganesha. Maman sempat melihat Rene sedang dikeroyok seperti adegan film koboi, lalu Rene ditembak dari atas truk.<br>
Kejadian ini menjadi pemicu awal sifat mahasiswa ITB yang anti establishment, dan cenderung anti militer yang korup. Gerakan-gerakan seperti penolakan Taman Mini (1972), protes terhadap Bulog (1972), dan lain-lain disebabkan menguatnya sifat korup pada partner perjuangan 66, yaitu militer. Sebenarnya tidak semua tokoh militer korup, namun tokoh-tokoh militer idealis seperti Jenderal AH Nasution, Sarwo Edhie, Kemal Idris, dan HR Dharsono cepat disingkirkan dari arena politik praktis.<br>
Berbagai permasalahan memuncak pada tahun 1973-1974, yaitu permasalahan masuknya modal asing secara besar-besaran, tanpa diimbangi pembangunan ekonomi pribumi yang kuat. Di Bandung dan Majalaya, banyak sekali pengusaha tekstil yang gulung tikar akibat modal Jepang. Memang Jepang tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena Pemerintah Indonesia lebih sering yang memebri peluang daripada melindungi masyarakatnya. DM ITB sempat mendemo Kedubes Jepang akibat permasalahan ini.<br>
11 Januari 1974, Hariman Siregar, Ketua Umum DM UI mengundang Ketua Umum DM ITB Muslim Tampubolon ke Jakarta untuk menghadiri pertemuan 35 DM se-Indonesia untuk menyampaikan aspirasi kepada Presiden Soeharto mengenai permasalahan korupsi, masalah modal asing dan militerisme. Selesai pertemuan, segera terjadi perpecahan antara mahasiswa Jakarta dengan mahasiswa luar Jakarta. Beberapa analisis memperkirakan Hariman dan kawan-kawan Jakarta didukung kekuatan politik Jenderal Soemitro, agar Jenderal Soemitro dapat menggantikan Soeharto menjadi Presiden RI, suatu yang sering dibantah Hariman Siregar di kemudian hari.<br>
15 Januari 1974, pecah demonstrasi besar-besaran untuk menyambut PM Jepang Kakuei Tanaka. Mahasiswa Jakarta dari Trisakti. Namun selama perjalanan mereka mulai ditunggangi oleh massa tak dikenal. Massa ini mulai melakukan pengrusakan di Senen, Pecenongan, dan daerah Thamrin. Mahasiswa Bandung saat itu memutuskan untuk tidak berangkat ke Jakarta menyambut PM Tanaka, karena arah gerakan menjadi anarkis, dan jelas telah terjadi pertarungan politik antara Jenderal Soemitro dengan Letjen Ali Moertopo, Aspri Presiden Soeharto. Mereka hanya melakukan aksi di kampus Unpad dengan membakar boneka bertuliskan "Dulu Haji Peking, sekarang Haji Tokyo!". Haji Peking merujuk pada H. Soebandrio, Menlu zaman Soekarno, sedangkan Haji Tokyo merujuk pada Soedjono Hoemardani, Aspri Presiden.<br>
Akibat peristiwa Malari, Hariman Siregar, Judil Herry Justam (Sekum DM UI), Salim Hutadjulu (Ketua SM FISIP UI) ditangkap. Beberapa tokoh penting seperti Prof. Sarbini Somawinata (mertua Hariman), Theo L Sambuaga, Aini Chalid, Sjahrir (Ketua Group Diskusi UI, sekarang Penasehat Ekonomi Presiden SBY) juga ditangkap. Namun yang divonis penjara hanya Hariman, Aini Chalid, dan Sjahrir.<br>
===Dari Malari Menuju NKK/BKK===
Akibat peristiwa ini, kemahasiswaan di Indonesia mulai menerima represifitas secara terang-terangan, tak terkecuali di ITB. Kemahasiswaan di ITB akhirnya diarahkan untuk konsolidasi internal agar lebih matang dalam mempersiapkan gerakan. Dimulai dari masa Prasetyo Sunaryo (1974-1975) dan Daryatmo (1975-1976), DM ITB mulai memikirkan konsep gerakan yang matang untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia.<br>
Pada masa kepengurusan Kemal Taruc (1976-1977), DM ITB menggulirkan konsep Gerakan Anti Kebodohan (GAK), sebauh konsep mendasar mengenai pencerdasan masyarakat, pengentasan kemiskinan, perbaikan pendidikan, dan demokratisasi. Dalam rangka GAK juga, Para Senator MPM memberi pelajaran bagaiman memilih Ketua DM yang baik (baca: Presiden RI) dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kemahasiswaan Indonesia, Ketua Umum Dewan Mahasiswa dipilih secara langsung, one student one vote. Ketua terpilih, Heri Akhmadi memperkuat kepengurusannya dengan aktivis yang lebih berbeda aspirasi gerakannya seperti Rizal Ramli, Indro Cahyono, dan Al Hilal Hamdi.<br>
Pada bulan Oktober 1977, mendekati Hari Sumpah Pemuda, Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Indonesia mengadakan pertemuan di Bandung. Saat hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1977, mahasiswa dan pelajar Bandung bersama-sama menyatakan keprihatinan atas demokrasi dan kecurangan-kecurangan saat pemilu. Memasuki Januari 1978, kampus ITB dipenuhi poster-poster anti Soeharto. Dan tepat pada tanggal 16 Januari 1978, 2000 mahasiswa ITB mengadakan apel di Lapangan Basket menyatakan, "Tidak Mengakui dan Tidak Menginginkan Soeharto Kembali Menjadi Presiden RI". Sebuah spanduk besar dipasang di gerbang depan kampus.<br>
Akibat peristiwa ini, kampus ITB diserbu dan diduduki Pasukan Linud Kostrad, bahkan Tank dan Panser masuk kampus. Mahasiswa dikumpulkan di Lapangan Basket, bahkan sempat terjadi penjambakan rambut seorang mahasiswi oleh seorang prajurit. Dikisahkan oleh Indro Cahyono, bahwa seorang Prajurit meneteskan air mata karena melihat rekannya melakukan hal tersebut. Hari itu juga, mahasiswa diusir dari kampus. Kampus diduduki selama 6 Bulan. Hanya mahasiswa angkatan 78 yang boleh kuliah, selebihnya terusir.<br>
Saat itu pemerintah melalui Mendikbud Daoed Joesoef menggulirkan konsep [[Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan]] yang lazim disingkat NKK/BKK. Dewan Mahasiswa se-Indonesia dibubarkan dan kemahasiswaan diatur oleh Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan melalui BKK. Mahasiswa menolak dengan keras BKK, dan tetap mengadakan pemilihan Ketua DM. Namun setiap Ketua DM terpilih, malam itu juga surat ancaman DO sampai. Akibatnya tidak ada yang bersedia menjadi Ketua DM.<br>
Akhirnya mahasiswa ITB memutuskan membubarkan Dewan Mahasiswa dan membekukan KM ITB. Kemudian didirikan Badan Koordinasi (BAKOR) untuk mengkoordinasikan pergerakan. Sementara cita-cita KM ITB diamanatkan kepada Himpunan-Himpunan sebagai kantung-kantung gerakan, dengan konsekuensi, kaderisasi ada di tingkat himpunan.
|