Anak Agung Pandji Tisna: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
WL8 Wikan (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
WL8 Wikan (bicara | kontrib)
menambah data bio dan referensi
Baris 14:
Pada tahun 1945, menjelang takluknya Jepang ayah Pandji Tisna meninggal. Sebagai putra sulung, ia mewarisi takhtanya dari ayahnya, [[Anak Agung Putu Djelantik]], pemimpin Buleleng, wilayah di bagian utara Bali pada [[1944]].<ref name="AA Pandji Tisna1"/> Dalam buku karangannya sendiri yang berjudul ''I Made Widiadi'', pada halaman terakhir disebutkan bahwa ia sejak semula tidak mau diangkat raja. Karena tentara pendudukan Jepang memerlukan, maka dengan dipaksa ia diangkat sebaga "syucho".<ref name="AA Pandji Tisna3">{{id}} Tisna, A.A. Pandji. ''I Made Widiadi Kembali kepada Tuhan''. Satya Wacana, 1955, Semarang.</ref>
 
Menjelang akhir tahun 1945, setelah Jepang menyerah, Pandji Tisna menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (Paruman Agung), yang beranggotakan delapan pemimpin wilayah Bali, dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur.<ref name="AA Pandji Tisna1"/>
 
Pada awal tahun 1946, pada usia 38, Anak Agung Pandji Tisna berpindah agama, dari beragama Hindu menjadi beragama Kristen, sebuah tindakan yang berbeda di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu dan memandang agama sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan etnisitas.<ref name="AA Pandji Tisna1"/> Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.<ref name="AA Pandji Tisna1"/>
 
Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.<ref name="AA Pandji Tisna1"/>
 
Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia [[2 Juni]] [[1978]] dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.<ref name="AA Pandji Tisna1"/>
 
Dalam kedudukannya sebagai raja, pada [[1946]] ia menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (''Paruman Agung'') dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur. Anak Agung Pandji Tisna juga unik karena beragama [[Kristen]], di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama [[Hindu]]. Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.
 
Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.
 
Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia [[2 Juni]] [[1978]] dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.
 
== Pendidikan, menjadi sastrawan ==