Waruga: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Susilo Hardi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
 
==Sejarah==
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke Utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lulut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga. Kemudian di tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya penyakit tipus dan kolera. Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya terdapat di Tonsea. (BagianUkiran utaradan Minahasa)relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpan di waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencaharian orang tersebut.
Pada awalnya waruga tersebar di seluruh Minahasa. Saat ini waruga yang tersebar tersebut dikumpulkan di desa Sawangan - Minahasa, yaitu sebuah desa yang terletak di antara Tondano (ibu kota kabupaten Minahasa) dengan Airmadidi (ibu kota kabupaten Minahasa Utara). Sampai saat ini waruga merupakan salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara.
(Bagian utara Minahasa).
{{stub}}