Sastra eksil Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
menambah data dan referensi |
||
Baris 9:
Eksil Indonesia mempunyai kekhasan dibandingkan berbagai fenomena eksil dunia lainnya. Eksil pada umumnya adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tekanan politik.<ref name="sastraeksil3">{{id}} Supartono, Alex, ''Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya-Karya Eksil Utuy Tatang Sontani'', Jurnal Kalam No. 18, 2001, Jakarta</ref> Mereka mempersiapkan diri untuk tidak akan pernah bisa pulang.<ref name="sastraeksil3"/> Karenanya, mereka akan berintegrasi penuh dengan budaya dan masyarakat baru di mana mereka akan tinggal.<ref name="sastraeksil3"/> Mereka menjadikan tanah pengasingan itu sebagai rumah baru dan menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Inilah yang dikenal dengan nama kebudayaan diaspora.<ref name="sastraeksil3"/>
Kondisi tersebut tidak terdapat pada eksil Indonesia.<ref name="sastraeksil3"/> Ketika peristiwa 65 terjadi di Indonesia, mereka yang berada di luar negeri merasa hal tersebut tidak akan berlangsung lama.<ref name="sastraeksil3"/> Namun kenyataannya berlangsung puluhan tahun. <ref name="sastraeksil3"/>Baru pada tahun 1990an, mereka sadar bahwa mereka adalah eksil, setelah 25 tahun ketika pemerintah setempat mulai menuntut kejelasan kewarganegaraan sebagai syarat mendapatkan uang pensiun, ketika umur mereka sudah tua.<ref name="sastraeksil3"/> Bagi para penulis, semuanya menjadi terlambat.<ref name="sastraeksil3"/> Untuk terjun dalam pergaulan sastra setempat, mereka harus memiliki modal pengetahuan bahasa setempat yang cukup.<ref name="sastraeksil3"/> Dan belajar bahasa di usia tua hampir merupakan kemustahilan. Akhirnya mereka terkurung dalam kesadaran mereka yang tidak realistis, hidup di negeri asing namun tetap merasa Indonesia.<ref name="sastraeksil3"/>
|