Sastra eksil Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah data dan referensi |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 12:
Kondisi tersebut tidak terdapat pada eksil Indonesia.<ref name="sastraeksil3"/> Ketika peristiwa 65 terjadi di Indonesia, mereka yang berada di luar negeri merasa hal tersebut tidak akan berlangsung lama.<ref name="sastraeksil3"/> Namun kenyataannya berlangsung puluhan tahun. <ref name="sastraeksil3"/>Baru pada tahun 1990an, mereka sadar bahwa mereka adalah eksil, setelah 25 tahun ketika pemerintah setempat mulai menuntut kejelasan kewarganegaraan sebagai syarat mendapatkan uang pensiun, ketika umur mereka sudah tua.<ref name="sastraeksil3"/> Bagi para penulis, semuanya menjadi terlambat.<ref name="sastraeksil3"/> Untuk terjun dalam pergaulan sastra setempat, mereka harus memiliki modal pengetahuan bahasa setempat yang cukup.<ref name="sastraeksil3"/> Dan belajar bahasa di usia tua hampir merupakan kemustahilan. Akhirnya mereka terkurung dalam kesadaran mereka yang tidak realistis, hidup di negeri asing namun tetap merasa Indonesia.<ref name="sastraeksil3"/>
Sastra eksil bukan satu aliran, tetapi sebagai suatu kekhususan akibat peristiwa sejarah.<ref name="sastraeksil1"/> Salah satu kekhususan kehidupan seniman eksil adalah kejiwaannya yang mengalami trauma akibat peristiwa politik.<ref name="sastraeksil1"/> Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri asal membuat mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi dan loyalitas.<ref name="sastraeksil1"/> Bagi pada seniman dan sastrawan, pergulatan emosi itu muncul dalam bentuk puisi, yang ditulis bukan hanya oleh penyair.<ref name="sastraeksil1"/> Banyak pelukis eksil yang kemudian membuat puisi, dan muncul penyair baru yang usianya sudah mendekati usia pensiun. Menulis puisi menjadi kebutuhan para seniman eksil.<ref name="
Beberapa seniman yang tercatat sebagai penulis eksil, antara lain:<ref name="
|