Sastra Islam: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
'''Sastra Islam''' adalah [[sastra]] yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran Islam; memuji dan mengangkat tokoh-tokoh Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; mengkritik pemahaman Islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat asli Islam awal, atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam ([[Goenawan Mohammad]]: 2010).
Menurut [[Abdurrahman Wahid]], sastra Islam merupakan bagian dari [[peradaban Islam]] yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara [[legalitas formal]] dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang [[muslim]] yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari [[al Qur’an]] dan [[Hadits]] (formal) dan bersifat adoptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi [[sosiologis]] dan [[psikologis]] [[sastrawan muslim]] yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya<ref>Majalah Horison, 7/1984</ref>.▼
Pendapat lain menyebutkan, [[Kesusastraan Islam]] ialah manifestasi dari rasa, karsa, cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada [[Allah]] untuk kehidupan ummat manusia. [[Seni Islam]] adalah seni karena Allah untuk umat [[manusia]] (''[[l'art par die et l'art pour humanite]]'') yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran [[wahyu]] Ilahi dan fitrah insani. Seperti disebutkan dalam [[Manifes Kebudayaan]] dan [[Kesenian Islam]] 13 [[Desember]] 1963 di [[Jakarta]], yang dideklarasikan untuk merespon [[Lekra]] dan [[Manifes Kebudayaan]] 17 [[Agustus]] 1963 para [[seniman]], budayawan muslim beserta para [[ulama]] yang dimotori Djamaludin Malik<ref>http://fordisastra.com/modules.php?name=News&file=article&sid=567 </ref>.▼
Beberapa pandangan menyebutkan, sejarah sastra Islam dan sastra Islami sendiri tak lepas dari perkembangan sastra Arab sebab bahasa Arab merupakan bahasa suci Islam dan Alquran. Bahasa Arab dalam bentuk klasiknya atau bentuk Qurani mampu memenuhi kebutuhan religius, sastra, artistik, dan bentuk formal lainnya. Sastra Arab atau Al-Adab Al-Arabi tampil dalam beragam bentuk prosa, fiksi, drama, dan puisi<ref>Heri Ruslan: Sastra dalam Peradaban Islam. Artikel Islam Digest, 9 Oktober 2011</ref>.
Baris 8 ⟶ 12:
Menurut Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan banyak sebutan. Diantaranya: (1) sastra [[sufistik]], yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (''tazkiyah an-nafs'') dengan berakhlak baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. (2) Sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan perjalanan [[spiritual]] seorang [[sufi]] mencapai taraf di mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu [[musyâhadah]], penyaksian terhadap keesaan Allah. (3) Sastra [[transendental]], yaitu sastra yang membahas [[Tuhan]] Yang Transenden. Dan (4) sastra [[profetik]], yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.<ref name="republika"/>
▲Pendapat lain menyebutkan, [[Kesusastraan Islam]] ialah manifestasi dari rasa, karsa, cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada [[Allah]] untuk kehidupan ummat manusia. [[Seni Islam]] adalah seni karena Allah untuk umat [[manusia]] (''[[l'art par die et l'art pour humanite]]'') yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran [[wahyu]] Ilahi dan fitrah insani. Seperti disebutkan dalam [[Manifes Kebudayaan]] dan [[Kesenian Islam]] 13 [[Desember]] 1963 di [[Jakarta]], yang dideklarasikan untuk merespon [[Lekra]] dan [[Manifes Kebudayaan]] 17 [[Agustus]] 1963 para [[seniman]], budayawan muslim beserta para [[ulama]] yang dimotori Djamaludin Malik<ref>http://fordisastra.com/modules.php?name=News&file=article&sid=567 </ref>.
▲Menurut [[Abdurrahman Wahid]], sastra Islam merupakan bagian dari [[peradaban Islam]] yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara [[legalitas formal]] dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang [[muslim]] yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari [[al Qur’an]] dan [[Hadits]] (formal) dan bersifat adoptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi [[sosiologis]] dan [[psikologis]] [[sastrawan muslim]] yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya<ref>Majalah Horison, 7/1984</ref>.
==Periodisasi Sastra Islam di Nusantara==
|