Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Djoko Sanudin (bicara | kontrib)
Djoko Sanudin (bicara | kontrib)
Baris 44:
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti [[Jawa Tengah]] dan sebagian [[Jawa timur]] dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (''open warfare''), maupun metode perang gerilya (''guerrilla warfare'') yang dilaksanakan melalui taktik ''hit and run'' dan penghadangan. ini bukan sebuah ''tribal war'' atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (''psy-war'') melalui [[insinuasi]] dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (''spionase'') di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
 
Pada tahun [[1827]], Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun [[1829]], [[Kyai_MojoKyai_Modjo|Kyai MajaModjo]], pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran [[Mangkubumi]] dan panglima utamanya [[Alibasah Sentot Prawirodirjo]] menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal [[28 Maret]] [[1830]], Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke [[Manado]], kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal [[8 Januari]] [[1855]].
 
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 [[pribumi]], dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.