Helvy Tiana Rosa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 16:
Helvy kemudian melanjutkan sekolah ke SMPN 78 Jakarta dan mengikuti Teater 78 (teater sekolah) bimbingan Kak Mukhlis. Ia menyukai teater dan mulai menulis naskah-naskah teater untuk pementasan sekolah dan Sanggar Zuluq, sebuah perkumpulan remaja di rumahnya. Di sekolah, hampir setiap pelajaran matematika ia selalu disetrap oleh gurunya Pak Rumapea karena tida bisa menjawab soal di papan tulis atau karena nilai-nilainya jelek. Helvy juga sering kedapatan di kelas diam-diam membaca novel dan kumpulan cerpen karya Danarto, Budi Darma dan Putu Wijaya yang dipinjamkan Pak Kasmino, guru bahasa-nya. Pak Rumapea bahkan dengan marah pernah mengusirnya dari kelas dan berkata, "Kamu tidak akan pernah jadi orang yang berhasil karena kamu gagal di kelas saya!" Sejak saat itu Helvy semakin tidak suka pelajaran matematika. Ia berpikir, andai saja guru-guru matematika mengajarkan rumus matematika dengan puisi dan cerita yang seru, mungkin ia bisa sangat menyukai matematika.
Di luar itu, Helvy terus berpikir tentang sebuah mesin tik. Maka tanpa sepengetahuan orangtuanya ia mengamen puisi di atas bus-bus yang kadang membawanya keliling Jakarta hingga malam hari. Ia bertekad mengumpulkan uang dan membeli sendiri sebuah mesin tik. Kadang ia mengamen puisi di TIM karena ingin berjumpa para sastrawan idolanya. Pernah Helvy melihat [[Taufiq Ismail]], [[Ramadhan KH]], [[Putu Wijaya]], [[Leon Agusta]], [[Sutardji Calzoum Bachri]] sedang mengobrol di warung di TIM dan ia nekad membacakan puisi-puisinya sekadar mendapat perhatian mereka. Karena mereka sibuk, mereka hanya memberi beberapa keping logam setelah menatap Helvy sekilas. Sejak saat itu Helvy bertekad, suatu saat ia akan menjadi sastrawan seperti mereka. Dan ia akan mendirikan sebuah organisasi
Suatu hari Helvy bertemu [[Putu Wijaya]] dalam suatu acara. maka Helvy menghampiri dan menyodorkan buku kecil ditangannya, meminta sastrawan yang ia kagumi itu menulis pesan untuknya. Putu Wijaya menulis: "Helvy, menulis adalah berjuang!" Helvy kemudian menempelkan tulisan tersebut pada cermin setengah badan di kamarnya dan bertekad untuk terus menulis.
|