Plompong, Sirampog, Brebes: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Aziz Iqbal (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Aziz Iqbal (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 15:
Desa ini bisa ditempuh dari kota terdekat, yaitu [[Bumiayu]] yang terletak di ruas jalan antara [[Tegal]] dan [[Purwokerto]]. Dari Bumiayu jaraknya sekitar 10 km ke arah timur. Untuk mencapai desa ini bisa ditempuh dari 2 jalur. Yang pertama dari Bumiayu melalui Desa [[Langkap]] dan [[Cilibur]]. Dan yang kedua dari Bumiayu melalui Desa [[Benda]] dan [[Manggis]], [[Kaliloka]]. Dari Bumiayu sepanjang 7 km jalannya cukup lebar dan halus. Tetapi setelah sampai Desa Manggis sepanjang 3 km menuju desa ini, jalannya sempit dan kasar, sehingga mobil sangat sulit mencapai lokasi. Apalagi jembatan utama yang menuju desa ini hancur dilanda banjir bandang beberapa waktu yang lalu. Desa yang satu ini terletak di lereng sebelah barat dari [[Gunung Slamet]] yang masih menyimpan aktifitas vulkanik. Topografinya berbukit-bukit dan bergelombang karena terletak di pegunungan, dengan kondisi jalan masih kurang bagus. Ketinggian antara 550 sampai 750 m dpl. Pemandangan alamnya masih cukup asri. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Ada juga sebagai pedagang, wiraswasta, buruh, dan pegawai.
 
Sebelah utara berbatasan dengan Desa [[Mlayang]] dan Manggis, sebelah Barat dengan Desa Benda dan [[Adisana]], sebelah selatan dengan Desa Cilibur, sebelah timur dengan desa [[Wanareja]], dan [[Sridadi]]. Terdapat sebuah aliran sungai yang cukup fenomenal, karena selalu keruh dan ketika musim hujan alirannya cukup deras dan menakutkan, yaitu [[Sungai Keruh]]. Di bagian timur desa terdapat sebuah puncak bukit yang bentuknya sangat unik, seperti tumpeng nasi. Disebut dengan [[Gunung Sumping]]. Terdapat tugu sebagai penanda [[Titik triangulasi]] di puncaknya. Dari puncak bukit yang tinggi ini bisa dilihat pemandangan ke berbagai penjuru yang sangat estetis dan menakjuban.
 
Kepala Desa yang pernah memimpin di desa ini adalah: H. Zaenul Muttaqin (Kepala Desa yang legendaris), Suhaemi, H. Nasucha, H. Bajuri, H. Syaefullah, dan sekarang Ihya Ulumuddin, S.Pd.I. Pertanian di desa ini cukup berkembang, walaupun sekarang kondisi saluran irigasinya banyak yang rusak. Produksi utama adalah padi, yang cukup terkenal karena berasnya jika dimasak menjadi nasi yang amat pulen dan lezat. Juga menghasilkan sayuran. Banyak terdapat sumber mata air, walaupun debitnya relatif kecil, namun disamping digunakan penduduk setempat juga digunakan untuk desa tetangga.
 
Walaupun desa ini cukup terisolir karena kondisi jalan yang tidak bagus, tetapi dalam hal pendidikan perlu mendapat acungan jempol. Di sini terdapat beberapa TK/RA/ABA, SD, MI, 2 MTs, 2 SMK, 1 MA, dan 2 pondok pesantren. Banyak sudah warga yang berpendidikan tinggi. Dalam hal adat istiadat masih menerapkan budaya lokal yang arif dan kental dengan nuansa agama [[Islam]].
 
Desa ini terdiri dari beberapa pedukuhan, yaitu: (1) Plompong Krajan sebagai "ibukota" dan pusat kegiatan pemerintahan dan pendidikan; (2) Kedung Benter; (3) Cirendu; (4) Pucung Lancar; (5) Pring Jajar; (6) Gempong; (7) Dukuh Ceper; (8) Ciku Kidul; (9) Ciku Lor; (10) Karang Mangu; (11) Legok Kenang; (12) Karang Kemiri; (13) Karang Gedang; (14) Cilontar/Sorangan; (15) Dukuh Ares; (16) Luwung; dan (17) Gunung Sumping.
 
Dalam sejarah, desa ini sewaktu zaman kolonial [[Belanda]] sudah cukup dikenal. Banyak pejuang kemerdekaan yang lahir dari desa ini. Sewaktu penjajahan [[Jepang]], penderitaan penduduk sangat parah. Makanya bangkitlah semangat patriotisme dari para nenek moyang yang hidup di kala itu untuk melawan penjajah. Dalam masa-masa agresi militer Belanda, desa ini juga menjadi ajang pertempuran yang konon cukup sengit. Rakyat mengungsi karena ketakutan dan takut menjadi korban, menuju hutan-hutan di perbukitan yang saat itu masih sangat lebat. Bahkan penduduk dari desa lain juga ada yang mengungsi di desa ini. Ketika muncul pemberontakan DI/TII pada tahun 1950-an, desa ini menjadi wilayah operasi militer yang intensif, karena menjadi tempat persembunyian beberapa anggota. Namun demikian, desa ini tetap menyimpan berbagai kisah perjuangan patriotik dan heroik dari para penduduknya pada masa yang lalu. (Edited by Drs. [[Aziz Iqbal]], M.Si., anake Pak H. Maktubi Noer dan Hj. Siti Torisah, Plompong Krajan).