Poedjangga Baroe: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
disetujui sebagai AP
Rahman Priadi (bicara | kontrib)
lebih tepat
Baris 36:
Secara ideologis, majalah ''Poedjangga Baroe'' mendukung negara yang modern dan bersatu di bawah satu bahasa, [[bahasa Indonesia]]. Namun, pandangan budaya dan politik para penulisnya membuat pendirian majalah ini kurang tetap. Untuk menjamin kenetralan politiknya, ''Poedjangga Baroe'' memuat tulisan dari segala macam teori politik. Dalam pembahasannya mengenai budaya, majalah ini menerbitkan polemik-polemik yang bertentangan mengenai pentingnya budaya Barat dan tradisi untuk perkembangan negara yang terbaik.
 
Selama sembilan tahun terbit, ''Poedjangga Baroe'' menerbitkan 90 edisi, yang memuat lebih dari tiga ratus butir puisi, lima buah drama, tiga buah antologi puisi, sebuah [[Belenggu (novel)|novel]], berbagai esai, dan beberapa cerpen. Publikasi ini, yang tidak pernah mempunyai lebih dari 150 langganan, mendapatkan resepsipenerimaan yang tercampurberagam. Penulis muda memuji-mujinya karena dianggap mencerminkan keadaan sosio-politik pada zaman itu, sementara [[suku Melayu|orang Melayu]] yang tradisionalis menolak penggunaan bahasanya, yang dianggap merusak ciri khas [[bahasa Melayu]]. Biarpun sebagian besar karya yang dimuatnya sudah terlupakan, tema dan gaya tulis yang menonjol dalam periode 1933 sampai 1942 membuat zaman itu disebut "angkatan ''Poedjangga Baroe''" dalam periodisiasi [[sastra Indonesia]].
 
==Judul==
Baris 52:
Supaya bisa mendapatkan dukungan untuk majalah ''Poedjangga Baroe'', pada bulan Oktober 1932 Hamzah ditugaskan untuk menulis surat dan minta sumbangan karya;{{sfn|Foulcher|1991|pp=14–17}} sebanyak lima puluh surat dikirim, termasuk empat puluh kepada penulis-penulis yang sering dimuat di "Memadjoekan Sastera".{{sfn|Siregar|1964|p=77}}{{sfn|Foulcher|1991|p=20}} Pada bulan Januari 1933, Armijn bertemu dengan STA dan Hamzah di [[Jakarta|Batavia]] (sekarang Jakarta). Mereka bertiga membahas uang yang diperlukan serta tujuan mempromosikan bahasa nasional. Setelah pertemuan tersebut, Armijn mengirim surat lagi ke para penulis serta mencapai kesepakatan dengan Kolff & Co., sebuah penerbit swasta milik Belanda.{{sfn|Foulcher|1991|pp=19–21}}
 
Pada bulan Februari 1933, kelompok itu sebuah prospektus yang berisikan data publikasi dan menjamin bahwa majalah ''Poedjangga Baroe'' akan berisikan setidaknya 64 halaman setiap edisi. Beberapa penulis lain, termasuk [[Sanusi Pane]], kakak Armijn, serta penyair [[Muhammad Yamin]] diminta untuk menjadi bagian redaksi.{{sfn|Foulcher|1991|pp=19–21}} Karena khawatir bahwbahwa tidak akan ada cukup banyak langgangan untuk menjamin sukses, serta berharap akan resepsimendapat penerimaan yang baik dari para kelompok tradisional, para pendiri itu mengirim surat kepada sepuluh sultan di seluruh Nusantara yang meminta agar mereka menjadi pelanggan; namun, hanya [[Syarif Muhammad Alkadrie]], [[Kesultanan Pontianak|Sultan Pontianak]], yang akhirnya setuju.{{sfn|Jassin|1963|pp=12–13}}{{sfn|Foulcher|1991|p=22}}
 
===Publikasi===
Baris 88:
Keith Foulcher, seorang dosen sastra dan bahasa Indonesia di Australia, menulis bahwa puisi yang dimuat dalam ''Poedjangga Baroe'' berasal dari penataan ulang bentuk tradisional dan menekankan pemilihan kata yang estetis; menurut dia, tema yang dituliskan termasuk tujuan mulia atau rasa kesepian ditengah keindahan alam.{{sfn|Foulcher|1991|p=63}} Menurut [[HB Jassin]], puisi-puisi ini, biarpun menggunakan bentuk gaya Barat dan diksi ala Indoneisa, masih mempunyai irama Melayu.{{sfn|Jassin|1963|p=27}}
 
==ResepsiPenerimaan dan pengaruh==
Penerbitan ''Poedjangga Baroe'' disambut dengan hangat oleh penulis muda dan kaum intelektual, yang menganggapnya sebagai cara untuk mengungkapkan pandangan nasionalis mereka.{{sfn|Jassin|1963|p=12}} Namun, kaum tradisionalis mengeluh tentang modernisasi bahasa Melayu yang dilakukan oleh ''Poedjangga Baroe''. Marah Sutan, kepala Dewan Guru Bahasa Melayu, menyatakan bahwa majalah ini merusak kemurnian bahasa Melayu Tinggi dan bentuk puisi tradisional.{{sfn|Balfas|1976|p=58}} Kaum tradisionalis juga menolak pemasukan bahasa serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing ke dalam bahasa Melayu{{sfn|KS|2010|p=79}} serta menyimpang dari bentuk tradisional [[pantun]] dan [[syair]].{{sfn|Jassin|1963|p=13}} Tokoh Melayu lain yang menolak ''Poedjangga Baroe'' termasuk [[Agus Salim]], S.M. Latif, dan Sutan Mohamad Zain.{{sfn|Siregar|1964|p=81}}