Wirun, Mojolaban, Sukoharjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 18:
Penjualan gamelan menjadi potensi yang diunggulkan karena pemasarannya yang mencapai luar negeri.
 
Dari catatan, industri kerajinan gamelan di Desa Wirun sudah muncul sejak tahun 1956, dirintis pertama kali oleh Reso Wiguno.{{cn}} Dorongan kebutuhan ekonomi menjadi latar belakang home industri tersebut. Pasalnya, Mojolaban bukanlah sebuah wilayah dengan hasil pertanian yang berlimpah. “Alasan lain, dulunya desa ini (Wirun) memiliki tradisi berkebudayaan yang panjang, khususnya di bidang seni,” kata Supoyo, seorang perajin di Desa Wirun.
MEMASUKI Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo, aura semangat kerja penduduk sangat terasa. Begitu masuk jalan desa, di sisi kana-kiri jalan banyak dijumpai perajin genteng dan batu bata tengah menjemur produksi yang masih basah. Sedikit ke tengah, beberapa warga membuka usaha kerajinan mebel yang memproduksi meja, kursi dan lemari. Masuk lebih ke dalam lagi, terdengar suara berdentang tanda di dekat sana terdapat perajin gamelan.
 
Ya. Di Desa Wirun inilah sentra pembuatan gamelan. Desa ini terletak sekitar 10 kilometer arah timur tenggara kota Solo, tepatnya di Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo. Meski agak jauh dari pusat keramaian Kota Solo, namun desa ini memiliki tingkat aksesibilitas yang mudah dijangkau dari berbagai arah maupun jenis kendaraan. Desa ini dikenal sebagai penghasil Kerajinan gamelan yang telah terkenal di dalam maupun luar negeri.
 
Dari catatan, industri kerajinan gamelan di Desa Wirun sudah muncul sejak tahun 1956, dirintis pertama kali oleh Reso Wiguno. Dorongan kebutuhan ekonomi menjadi latar belakang home industri tersebut. Pasalnya, Mojolaban bukanlah sebuah wilayah dengan hasil pertanian yang berlimpah. “Alasan lain, dulunya desa ini (Wirun) memiliki tradisi berkebudayaan yang panjang, khususnya di bidang seni,” kata Supoyo, seorang perajin di Desa Wirun.
 
Di desa Wirun setidaknya terdapat 10 perajin gamelan yang masih bertahan hingga kini. Salah satunya ya Supoyo itu. Beberapa tahun lalu, ada sebanyak 15 pemilik home industri gamelan. Namun 5 pengusaha rontok, karena kondisi ekonomi yang tak menentu. Sepuluh lainnya yang bertahan pun saat ini kembang-kempis, karena tingginya harga bahan baku.
 
Harga seperangkat gamelan lengkap memang tidak main-main. Untuk membuat satu perangkat gamelan lengkap, seorang perajin harus menyediakan 1,3 ton tembaga dan 3 kuintal perunggu. Satu perangkat gamelan lengkap biasa dijual dengan harga hingga Rp 300 juta. Satu perangkat lengkap terdiri dari 26 item gamelan. Sedangkan untuk perangkat gamelan yang terbuat dari kayu, kendang misalnya, perajin biasanya memberi order kepada perajin lain.
 
Jika pesan secara eceran, misalnya gong, biaya pembuatan untuk satu gong berdiameter 77 cm bisa mencapai Rp3,3 juta. Satu gong membutuhkan tembaga bahan baku sedikitnya 20 kg, timah 6 kg dan arang bakar 15 karung.
 
Di Desa Wirun, industri gamelan sempat mencapai zaman keemasan pada tahun 1999. Masa itu, tak sedikit perajin yang mengekspor barang dagangannya dengan membukukan omzet miliaran rupiah.
 
Namun sekarang kondisinya mulai berubah. Biaya produksi, terutama bahan baku, membengkak. Belum lagi biaya sepuluh tenaga kerja yang mencapai rata-rata Rp400.000 per hari.
 
“Tahun 2004, dengan biaya sebesar itu kami sudah bisa buat tiga gong, kalau sekarang cuma bisa untuk satu gong,” kata Supoyo.
 
Ironisnya, biaya produksi yang membengkak ini ternyata tidak diikuti kenaikan harga jual yang signifikan. Harga jual gong ukuran 77 cm sekitar Rp4 juta. Padahal harga jual itu belum termasuk biaya listrik dan penyediaan tabung gas untuk pengelasan. Kondisi itu semakin dipersulit dengan semakin minimnya akses pasar di dalam ataupun di luar negeri. Coba bandingkan. Empat tahun lalu mereka mampu menjual sedikitnya empat set perangkat gamelan lengkap seharga Rp200 juta hingga ke Belanda dan Amerika Serikat, kini mereka hanya mampu menjual satu set gamelan dengan harga Rp350 juta.
 
Ironisnya, gamelan adalah produk yang awet, dengan permintaan yang tidak begitu besar. Celakanya, harga gamelan juga cukup tinggi. Problem tersebut biasanya rasakan para perajin. Karena itu, mereka yang bermodal cekak lebih memilih mundur teratur dan kembali menggarap sawah.
 
“Tapi kami harus melanjutkan usaha ini. Bukan semata-mata alas an ekonomi, tapi juga karena gamelan itu warisan budaya. Kami tetap akan melestarikannya.”
 
Di rumah seorang perajin lain, Saroyo, terlihat lima pekerja tengah mengecat rancakan, kotak kayu, dengan kombinasi warna merah tua dan emas, untuk perlengkapan gamelan.
 
Masuk ke belakang rumah, terlihat sekumpulan pekerja yang sedang membuat sebuah gong ukuran besar. Dua orang sedang membakar sebuah gong yang belum jadi dalam sebuah tungku berbahan bakar arang. Sebuah blower mengipasi tungku, sehingga arang kian membara, memercikkan bunga api. Gong yang terbuat dari tembaga bercampur timah pun menjadi memijar merah, tampak menyala karena ruangan yang digunakan cukup gelap.
 
Gong yang menyala diangkat dari perapian, diletakkan pada sebuah onggokan tanah liat. Empat pekerja bergegas mendekat dan menempa gong dengan sebuah palu besar yang terbuat dari kayu. Warga setempat menyebutnya dengan nama gandhen. Mereka menempa dengan teratur, sehingga menimbulkan suara berdentang yang berirama. Para pekerja yang bertelanjang dada kelihatan menghitam, karena tubuhnya dibaluri dengan keringat dan debu arang yang menempel rata.
 
{{kelurahan-stub}}