MEKANISME PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
OLEH :
MUSTARI MULA TAMMAGA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membentuk sistem baru bagi pemerintahan di daerah yang membuka peluang, tantangan dan kendala terutama kepada daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk lebih leluasa mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan tersebut menjadikan Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, termasuk didalamnya kewenangan dalam menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah.
Sebagai konsekuensi dari adanya perubahan sistim pemerintahan daerah dari sentralistik ke desentralisasi maka perlu adanya penataan ulang berbagai elemen dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka manifestasi pelaksanaan otonomi daerah. Karena pada dasarnya tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu dampak dari kebijakan otonomi daerah adalah memicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di berbagai propinsi dan kabupaten dan kota. Tapi sayangnya dari sekian banyak Perda yang dihasilkan tersebut cenderung dibuat dengan cara yang kurang melibatkan publik dan tidak transparan sehingga tidak jarang terjadi penolakan terhadap peraturan yang dibuat.
Membuat rancangan peraturan daerah pada dasarnya sama dengan membuat rancangan perundang-undangan yaitu merupakan suatu pekerjaan yang sulit, dikarenakan konsekuensi hukum dari produk hukum yang akan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam mengakomodasi beberapa kepentingan. Apabila suatu peraturan perundang-undang dibuat kurang sempurna atau kurang dimengerti oleh pelaksana undang-undang, sudah barang tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Idealnya, suatu undang-undang atau peraturan daerah dibuat sederhana dalam rangka memudahkan pemahaman undang-undang dimaksud. Namun dalam praktik, untuk menghindari perbedaan penafsiran atas suatu rumusan peraturan perundang-undangan, umumnya para pembuat kebijakan menyusun perundang-undangan secara detail dengan maksud memperjelas materi atau muatan yang ada dalam peraturan tersebut. Rumusan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesan berbelit-belit dan jauh dari “kesederhanaan”, bahkan seringkali menimbulkan multitafsir.
Kesukaran dalam menyusun rancangan undang-undang yang baik ini tidak saja terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di Inggris, sejak ratusan tahun lalu sebagaimana disampaikan oleh John Stuart Mill (Zuraida,2010) dalam bukunya Consideraton on Representative Government bahwa “were it not that our laws are already, as to form and construction, such a chaos, that the confusion and contradiction seem incapable of being made greater by any addition to the mass”.
Berdasarkan teori di atas, idealnya, untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baik para pembuat kebijakan harus melakukan persiapan khususnya terkait dengan pengetahuan yang mendalam dari materi yang akan diatur dan pengetahuan akan daya upaya apa yang tepat untuk mencegah penghindaran diri dari ketentuan undang-undang tersebut.
Penyusunan rancangan undang-undang tidak hanya merupakan soal pengetahuan saja, namun juga diperlukan seni dalam merancang undang-undang. Dengan demikian, diharapkan undang-undang tersebut tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi para pelaksananya, tetapi juga mampu menampung perkembangan di masa yang akan datang.
Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Bupati, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah kabupaten, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.
Penyiapan rancangan daerah ini ada dua kemungkinannya, yang pertama datang dari Bupati dan kedua dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Bupati disampaikan dengan Surat Pengantar Bupati kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah oleh Bupati. Sedangkan rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Bupati.
Selanjutnya, setelah draft rancangan dibuat maka perlu disosialisasikan. Sosialisasi atau penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sedangkan yang berasal dari Bupati dilaksanakan olah Sekretaris Daerah.
Namun apabila Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan yang disampaikan oleh Bupati digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
B. Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam memulai persiapan perencanaan dan merumuskan Peraturan Perundangan secara baik dan benar dalam sebuah ketentuan perundangan undangan, maka perlu dipahami teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Teknik atau prosedur penyusunan peraturan daerah sesungguhnya telah diatur dalam berbagai ketentuan. Yaitu :
a. Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
b. Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
c. Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 16 Tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Namun demikian untuk lebih memudahkan pemahaman, maka dapat diuraikan secara ringkas, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam teknis penyusunan peraturan perundangan di tingkat daerah sebagai berikut :
a . Rancangan Peraturan Daerah .
Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Bupati, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah kabupaten, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.
Penyiapan rancangan daerah ini ada dua kemungkinannya, yang pertama datang dari Bupati dan kedua dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Bupati disampaikan dengan Surat Pengantar Bupati kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah oleh Bupati. Sedangkan rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Bupati.
Selanjutnya, setelah draft rancangan dibuat maka perlu disosialisasikan. Sosialisasi atau penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sedangkan yang berasal dari Bupati dilaksanakan olah Sekretaris Daerah.
Namun apabila Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan yang disampaikan oleh Bupati digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
b . Materi Peraturan Daerah
Materi muatan Peraturan Daerah secara umum adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang perlu diperhatikan dalam pemuatan materi peraturan daerah di Provinsi Sulawesi Barat tersebut adalah disesuaikan dengan kebutuhan dan keterbatasan kewenangan Pemerintah Daerah.
c . Teknik Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam perumusan peraturan daerah ke dalam bentuk format peraturan perundangn diperlukan sistematika penyusunan seperti yang telah diatur dalam Undang-undang. Teknik penyusunan Peraturan Daerah disusun dalam sistematika berikut ini :
1). JUDUL
2). PEMBUKAAN
a) Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
b) Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
c) Konsiderans
d) Dasar, Hukum
e) Diktum
3).BATANG TUBUH
a) Ketentuan Umum
b) Materi Pokok yang Diatur
c) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
d) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
e) Ketentuan Penutup
4).PENUTUP
5).PENJELASAN (Jika diperlukan)
6).LAMPIRAN (Jika diperlukan)
Keterangan masing masing kerangka di atas diuraikan secara sederhana dibawah ini :
1). JUDUL
Judul yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan ditulis dengan bahasa yang baku dan lugas serta mampu menjelaskan secara konkrit mengenai bidang yang diatur.
Penulisan judul seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca
Judul memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan.
2). PEMBUKAAN
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan ditulis dalam format :
a). Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin
b). Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
c). Konsiderans;
Konsiderans selau diawali dengan kata Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut.
Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
d).Dasar Hukum
Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut.
Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
Dasar hukum yang diambil dari pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
e).Diktum
Diktum terdiri atas:
kata Memutuskan;
kata Menetapkan;
Nama Peraturan Perundang-undangan.
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tangah marjin.
Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
3). BATANG TUBUH
Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan merupakan isi dari peraturan yang memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.
Dalam penulisan batang tubuh perlu diperhatikan hal hal berikut ini :
Dalam pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.
Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian dapat dihindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional.
Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. Pengelompokkan materi Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. Pengelompokkan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
bab dengan pasal -pasal tanpa bagian dan paragraf,
bab dengan bagian dan pasal-pasal tanpa paragraf, atau
bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal-pasal.
Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
a). Ketentuan Umum;
Ketentuan umum diletakkan dalam bab Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan dalam pasal-pasal awal. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
Ketentuan umum berisi:
Batasan pengertian atau definisi;
Singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan
Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huraf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal-pasal selanjutnya.
Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka ramusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
Pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
Pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
Pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
b). Materi Pokok yang Diatur;
Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal–pasal ketentuan umum.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
c). Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentaan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Khusus untuk peraturan daerah ketentuan pidana dibatasi hanya untuk kurungan maksimal 6 bulan dan denda maksimal 5 juta.
d). Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan);
Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan pidana dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup.
Pada saat suatu Peraturan Perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah Peraturan Perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan baru.
Jika suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang-undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
e). Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal terakhir. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-andangan;
Nama singkat;
Status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat:
Menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain-lain;
Mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan
4). PENUTUP
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat:
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang- undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan;
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan akhir bagian penutup.
d. Pembahasan dan Penetapan
Setelah disusun rancangan peraturan daerah maka akan dilakukan pembahasan. Pembahasan dapat dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Bupati melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
e. Pengundangan
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan daerah harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:
1) Lembaran Daerah; atau
2) Berita Daerah.
Yang mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
Sumber Pustaka :
Diramu dari berbagai sumber
|