Peristiwa Talangsari 1989: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
 
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke pengadilan 23 orang.
 
==Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI)==
 
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang dalam perspektif kekinian, nampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan JI (Jamaah Islamiyah). Dikatakan demikian, karena keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/05/hello-world/)
 
Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian di tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
 
Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
 
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.
 
Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).
 
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.
 
Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
 
Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (7-8 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.
 
Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh empat orang. Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah kemiliteran). Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan) Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah). Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).
 
Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
 
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan radikal yang disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekedar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.
 
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.
 
 
== Peradilan ==