Sejarah Indonesia (1945–1949): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: menghilangkan bagian [ * ]
Menolak 2 perubahan teks terakhir (oleh 180.251.157.65) dan mengembalikan revisi 5689370 oleh Albertus Aditya
Baris 18:
{{Sejarah Indonesia}}
'''Sejarah [[Indonesia]]''' selama '''1945—1949''' dimulai dengan masuknya [[Blok Sekutu (Perang Dunia II)|Sekutu]] diboncengi oleh [[Belanda]] ([[NICA]]) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan [[Jepang]], dan diakhiri dengan [[Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda|penyerahan kedaulatan kepada Indonesia]] pada tanggal [[27 Desember]] [[1949]]. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi [[Daftar Kabinet Indonesia#Era Perjuangan Kemerdekaan|kabinet]], [[Aksi Polisionil]] oleh [[Belanda]], berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
 
== 1945 ==
=== Kembalinya Belanda bersama Sekutu ===
==== Latar belakang terjadinya kemerdekaan ====
Sesuai dengan [[perjanjian Wina]] pada tahun [[1942]], bahwa [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|negara-negara sekutu]] bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki [[Jepang]] pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
 
Menjelang akhir [[Perang Dunia II|perang]], tahun [[1945]], sebagian wilayah [[Indonesia]] telah dikuasai oleh tentara [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|sekutu]]. Satuan tentara [[Australia]] telah mendaratkan pasukannya di [[Makasar]] dan [[Banjarmasin]], sedangkan [[Balikpapan]] telah diduduki oleh [[Australia]] sebelum [[Jepang]] menyatakan menyerah kalah. Sementara [[Pulau Morotai]] dan [[Irian Barat]] bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara [[Australia]] dan [[Amerika Serikat]] di bawah pimpinan Jenderal [[Douglas MacArthur]], Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (''South West Pacific Area Command/SWPAC'').
 
Setelah perang usai, tentara [[Australia]] bertanggung jawab terhadap [[Kalimantan]] dan Indonesia bagian Timur, [[Amerika Serikat]] menguasai [[Filipina]] dan tentara [[Inggris]] dalam bentuk komando '''SEAC''' (''South East Asia Command'') bertanggung jawab atas [[India]], [[Burma]], [[Srilanka]], [[Malaya]], [[Sumatra]], [[Jawa]] dan Indocina. SEAC dengan panglima [[Lord Mountbatten]] sebagai Komando Tertinggi Sekutu di [[Asia Tenggara]] bertugas melucuti bala tentera [[Jepang]] dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (''Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI'').
 
==== Mendaratnya Belanda diwakili NICA ====
Berdasarkan ''Civil Affairs Agreement'', pada [[23 Agustus]] [[1945]] Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. [[15 September]] 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di [[Jakarta]], dengan didampingi [[Charles van der Plas|Dr. Charles van der Plas]], wakil Belanda pada [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|Sekutu]]. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi [[NICA]] (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh [[Hubertus J van Mook|Dr. Hubertus J van Mook]], ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio [[Ratu Wilhelmina]] tahun [[1942]] (''statkundige concepti'' atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan [[Soekarno]] yang dianggapnya telah bekerja sama dengan [[Jepang]]. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
 
=== Pertempuran melawan Sekutu dan NICA ===
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan [[NICA]] ke Indonesia, yang saat itu baru [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|menyatakan kemerdekaannya]]. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
# [[Peristiwa 10 November]], di daerah [[Kota Surabaya|Surabaya]] dan sekitarnya.
# [[Palagan Ambarawa]], di daerah [[Ambarawa]], [[Semarang]] dan sekitarnya.
# [[Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman]], meliputi [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]]
# [[Bandung Lautan Api]], di daerah [[Bandung]] dan sekitarnya.
# [[Pertempuran Medan Area]], di daerah [[Kota Medan|Medan]] dan sekitarnya.
# [[Pertempuran Margarana]], di [[Bali]]
# [[Serangan Umum 1 Maret 1949]], di [[Yogyakarta]]
# [[Pertempuran Lima Hari Lima Malam]], di [[Palembang]]
 
=== Ibukota pindah ke Yogyakarta ===
Karena situasi keamanan ibukota [[Jakarta]] ([[Batavia]] saat itu) yang makin memburuk, maka pada tanggal [[4 Januari]] [[1946]], [[Soekarno]] dan [[Hatta]] dengan menggunakan kereta api, pindah ke [[Yogyakarta]] sekaligus pula memindahkan [[ibukota]]. Meninggalkan [[Sutan Syahrir]] dan kelompok yang pro-negosiasi dengan [[Belanda]] di [[Jakarta]].<ref name="gimonca45">{{en}} [http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah08.shtml War for Independence: 1945 to 1950]</ref>
 
Pemindahan ke [[Yogyakarta]] dilakukan dengan menggunakan [[kereta api]], yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.<ref>[http://www.adnanputra.com/artikel_otw_arsip.php?detail=ok&id=9&PHPSESSID=f66e0d584221bb01cd6ac1dec6cc1051 Bhayangkara Pewaris Gajah Mada, Kilas-balik sejarah POLRI]</ref>
 
== 1946 ==
=== Perubahan sistem pemerintahan ===
Pernyataan [[van Mook]] untuk tidak berunding dengan [[Soekarno]] adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari [[presidensiil]] menjadi [[parlementer]]. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|Sekutu]], tanggal [[14 November]] [[1945]], [[Soekarno]] sebagai kepala [[Kabinet Presidensial|pemerintahan republik]] diganti oleh [[Sutan Sjahrir]] yang seorang [[sosialis]] dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di [[Belanda]].
 
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari
[[Sistem presidensiil|sistem Presidensiil]] menjadi [[Sistem parlementer|sistem Parlementer]]) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan [[Inggris]] dan [[Belanda]], [[Sutan Sjahrir]] dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
 
=== Diplomasi Syahrir ===
Ketika Syahrir mengumumkan [[Kabinet Sjahrir I|kabinetnya]], [[15 November]] [[1945]], Letnan [[Gubernur Jendral]] [[van Mook]] mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (''Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen''), [[J.H.A. Logemann]], yang berkantor di [[Den Haag]]: "''Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan''". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio [[BBC]] tanggal [[28 November]] [[1945]], "''Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir''". Tanggal [[6 Maret]] [[1946]] kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah ''[[persona non grata]]''.