Saudagar Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Irul 901 (bicara | kontrib)
Rahman Priadi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
Setelah cadangan emas mengalami penurunan, perdagangan komoditi menjadi basis utama bisnis orang-orang Minang. Perdagangan lada, akasia, dan gambir berkembang pesat pada abad ke-15 hingga abad 18. Dilanjutkan dengan perdagangan kopi pada abad ke-18 hingga 19. Mereka membawa barang dagangan dari pedalaman Minangkabau ke [[Selat Malaka]] atau [[Samudera Hindia]] untuk dijualkan kepada pedagang-pedagang asing. Ke pantai timur, perdagangan banyak dilakukan melalui sungai-sungai besar seperti [[Sungai Kampar|Kampar]], [[Sungai Siak|Siak]], Indragiri, dan Batang Hari. Dari kegiatan perdagangan ini, banyak pedagang Minang yang bermigrasi dan mendirikan koloni di sepanjang pesisir barat dan timur Sumatra, bahkan hingga ke semenanjung Malaysia. Di pantai barat mereka mendirikan pos-pos dagang di [[Meulaboh]], [[Barus, Tapanuli Tengah|Barus]], [[Sorkam, Tapanuli Tengah|Sorkam]], [[Natal, Mandailing Natal|Natal]], Tiku, [[Pariaman]], [[Padang]], hingga [[Bengkulu]]. Di pesisir timur, koloni dagang mereka terbentang dari [[Kabupaten Batubara|Batubara]], [[Pelalawan]], hingga [[Kota Jambi|Jambi]].
 
Sejak kemunculan [[Kerajaan Sriwijaya]] dan dilanjutkan dengan [[Kesultanan Malaka]], banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh [[Kesultanan Aceh]], kemudian oleh [[Belanda]].<ref>{{cite book |last=Reid|first=Anthony|title=Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680}}</ref>. Dibukanya [[Penang]] dan [[Singapura]] di Selat Malaka, menggairahkan kembali perdagangan antara Minangkabau dengan dunia luar. Dari perdagangan komoditi dengan kota-kota tersebut, banyak desa-desa di dataran[[Dataran tinggiTinggi Minangkabau]] yang mendadak kaya raya. Disamping menjadi pedagang perantara, pedagang Minang juga banyak yang menjadi pedagang lintas selat. Dimana peran ini banyak dimainkan oleh pengusaha Minang yang bermukim di [[Kabupaten Batu Bara|Batubara]]. Dengan kapal-kapal mereka, pedagang ini mengangkut aneka komoditi yang datang dari pedalaman untuk dijual di pasaran [[Singapura]].<ref>{{cite book |last=Dobbin|first=Christine|title=Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi}}</ref> Selain berdagang di Selat Malaka, para pebisnis lintas selat ini juga beroperasi di pantai barat Sumatera, Kepulauan Karimata, Selat Sunda, Laut Jawa, Laut Sulu, hingga Kepulauan Maluku. Nakhoda Mangkuto, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Nakhoda Muda, merupakan beberapa pedagang lintas selat yang sukses berdagang komoditi.<ref>GWJ Drewes, De Biografie van een Minangkabausen Peperhandelaar in de Lampongs, 1961</ref>
 
Pada paruh kedua abad ke-18, tanaman dan industri baru berkembang pesat di Minangkabau. Hal ini segera merangsang para pengusaha dan pedagang untuk meraih kekayaan yang lebih. Kekayaan inilah kemudian yang meletakkan jalan serta fondasi bagi berkembangnya gerakan [[Paderi]], sebuah gerakan pembaruan keagamaan yang dipelopori oleh Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Di pantai muncul tambak-tambak garam, di daerah Agam budidaya kapas maju dengan pesat dan menyediakan bahan untuk penenunan katun yang makin lama makin giat. Di Limapuluh Kota ditanam pohon gambir yang pada waktu itu dipakai sebagai obat, yang kemudian menjadi komoditas ekspor.<ref>Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, p. 106</ref>