Peristiwa Talangsari 1989: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tontowy (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 8:
Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.
 
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung [[Kolonel [[AM Hendropriyono]] mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke pengadilan 23 orang.
 
==Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI)==
 
Menurut [[Riyanto bin Suryadi]] mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang dalam perspektif kekinian, nampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan [[JI (Jamaah Islamiyah)]]. Dikatakan demikian, karena keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama [[Abdullah Sungkar]]. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/05/hello-world/)
 
Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke [[Malaysia]] sejak 1985. Kemudian di tahun 1993 ia memisahkan diri dari [[NII]] dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.