Samudramantana: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Reindra (bicara | kontrib)
tolong dirapikan
Jv03 army (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
Cerita Samuderamantana merupakan salah satu bagian dari sekumpulan cerita [[mitologi]] agama [[Hindu]] yang tergabung di dalam naskah [[Adiparwwa]], [[parwwa]] pertama dari [[Mahabharata]]. Berdasarkan sumbernya, kitab [[Mahabharata]], maka dapat diketahui bahwa cerita ini berlatar belakang agama Hindu dan merupakan bagian dari pengaruh kebudayaan yang diadopsi dari India. Meskipun demikian, cerita ini telah begitu dikenal oleh masyarakat pendukung budaya Hindu pada waktu itu dengan diketahui telah disalinnya kisah ini ke dalam bahasa Jawa Kuna (manjawaken) semenjak zaman [[Dharmawangsa Teguh]], Raja [[Mataram Hindu]] yang memerintah pada sekitar tahun 991 M-1016 M. <ref name="buku"> Marwati Djoened, Poesponegoro, ed. Sejarah Nasional Indonesia, Jil. II, ed.4; Cet 5, Jakarta: Balai Pustaka. 1984. hlm. 255.<ref/ref>> Masyarakat [[Jawa Kuna]] telah menganggap cerita ini sebagai cerita [[Jawa Kuna]] asli, dan segala sesuatunya tentang cerita ini dianggap terjadi di tanah [[Jawa]]. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kebijaksanaan dan kecerdasan dari para sastrawan yang telah mampu memindahkan [[Islam]] pikiran para pembaca dan pendengarnya dari suasana [[India]] menjadi suasana [[Jawa]] asli. Inti dari cerita ini adalah pengadukan [[Samudera]] yang dilakukan oleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan air amerta (air suci)<ref name="jurnal ilmiah"> Siti Maziyah. “Sumbangan Cerita Samuderamathana Terhadap Pemahaman Arti Air Penghidupan Pada Masyarakat Jawa Kuna”, dalam Jurnal Citra Lekha, Volume IV, Nomor 1, Februari 2001, hal. 16, Semarang.</ref/>
{{rapikan}}
Cerita Samuderamantana merupakan salah satu bagian dari sekumpulan cerita [[mitologi]] agama [[Hindu]] yang tergabung di dalam naskah [[Adiparwwa]], [[parwwa]] pertama dari [[Mahabharata]]. Berdasarkan sumbernya, kitab [[Mahabharata]], maka dapat diketahui bahwa cerita ini berlatar belakang agama Hindu dan merupakan bagian dari pengaruh kebudayaan yang diadopsi dari India. Meskipun demikian, cerita ini telah begitu dikenal oleh masyarakat pendukung budaya Hindu pada waktu itu dengan diketahui telah disalinnya kisah ini ke dalam bahasa Jawa Kuna (manjawaken) semenjak zaman [[Dharmawangsa Teguh]], Raja [[Mataram Hindu]] yang memerintah pada sekitar tahun 991 M-1016 M.<ref name="buku"> Marwati Djoened, Poesponegoro, ed. Sejarah Nasional Indonesia, Jil. II, ed.4; Cet 5, Jakarta: Balai Pustaka. 1984. hlm. 255.</ref>> Masyarakat [[Jawa Kuna]] telah menganggap cerita ini sebagai cerita [[Jawa Kuna]] asli, dan segala sesuatunya tentang cerita ini dianggap terjadi di tanah [[Jawa]]. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kebijaksanaan dan kecerdasan dari para sastrawan yang telah mampu memindahkan [[Islam]] pikiran para pembaca dan pendengarnya dari suasana [[India]] menjadi suasana [[Jawa]] asli. Inti dari cerita ini adalah pengadukan [[Samudera]] yang dilakukan oleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan air amerta (air suci)<ref name="jurnal ilmiah"> Siti Maziyah. “Sumbangan Cerita Samuderamathana Terhadap Pemahaman Arti Air Penghidupan Pada Masyarakat Jawa Kuna”, dalam Jurnal Citra Lekha, Volume IV, Nomor 1, Februari 2001, hal. 16, Semarang.</ref>
 
==Cathetan Suku==
 
{{relist}}
<ref name="buku"/> Marwati Djoened, Poesponegoro, ed. Sejarah Nasional Indonesia, Jil. II, ed.4; Cet 5, Jakarta: Balai Pustaka. 1984. hlm. 255.
 
<ref name="jurnal ilmiah"/> Siti Maziyah. “Sumbangan Cerita Samuderamathana Terhadap Pemahaman Arti Air Penghidupan Pada Masyarakat Jawa Kuna”, dalam Jurnal Citra Lekha, Volume IV, Nomor 1, Februari 2001, hal. 16, Semarang.
 
[[Kategori:mitologi]]
 
[[jv:Samudramanthana]]