Kabupaten Cianjur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
MerlIwBot (bicara | kontrib)
k bot Menambah: zh:展玉
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 37:
 
== Asal mula ==
Tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber - sumber tertulis , sejak tahun 1614 daerah [[Gunung Gede]] dan [[Gunung Pangrango]] ada di bawah [[Kesultanan Mataram]]. Tersebutlah sekitar tanggal 12 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem SagaraSagala Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah [[Cimapag]] dari kekuasaan kolonial [[Belanda]] yang mulai menanamkan kekuasaan di tanah [[nusantara]]. Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda / [[VOC]] saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.
 
Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 12 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
 
Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari SagaraSagala Herang yang mencari tempat baru ke pinggiran sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoungkampung mereka dinamakan menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk [[Islam]], sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk [[Hindu]].
 
Sebagaimana daerah beriklim [[tropis]], maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
 
Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari SagaraSagala Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De Regent van Tjiandjoer en zijn echtgenote voor hun huis in een auto van het merk Opel TMnr 60019212.jpg|thumb|300px|''[[bupati|Regent]]'' Cianjur dan isterinya naik mobil di depan kediaman mereka di tahun 1920-an]]
 
== Filosofi ==
Cianjur memiliki filosofi yang sangat bagus, yakni ngaos'''''NGAOS''''', mamaos'''''MAMAOS''''' dan maenpo'''''MAEN PO''''' yang mengingatkan pada kita semua tentang 3 (tiga) aspek keparipurnaan hidup.
# Ngaos''NGAOS'' adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. [[Citra]] sebagai daerah agamis ini konon sudah terintis sejak Cianjur lahir sekitar tahun 1677 dimana wilayah Cianjur ini dibangun oleh para [[ulama]] dan [[santri]] tempo dulu yang gencar mengembangkan syiar Islam. Itulah sebabnya Cianjur juga sempat mendapat julukan gudang santri dan [[kyai]] sehingga mendapat julukan '''KOTA SANTRI'''. Bila di tengok sekilas sejarah perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa [[perang kemerdekaan]], bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak pula di pondok-pondok [[pesantren]]. Banyak pejuang-pejuang yang meminta restu para kyai sebelum berangkat ke medan perang. Mereka baru merasakan lengkap dan percaya diri berangkat ke medan juang setelah mendapat restu para kyai.
# Mamaos'''MAMAOS''' adalah [[seni budaya]] yang menggambarkan kehalusan [[budi]] dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata [[pergaulan]] hidup. Seni mamaos [[tembang]] [[sunda]] [[Cianjuran]] lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Ia menjadi pupuhu ([[pemimpin]]) tatar Cianjur sekitar tahun 1834-1862. Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (Kecapi besar dan Kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru. Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya.
# Sedangkan Maen'''MAEN PoPO''' adalah seni [[bela diri]] [[pencak silat]] yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan. Pencipta dan penyebar maen po ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim, aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan. Dalam maenpo dikenal ilmu Liliwatan (penghindaran) dan Peupeuhan (pukulan).
 
Apabila filosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan symbol rasa keber-agama-an, kebudayaan dan kerja keras. Dengan keber-agama-an sasaran yang ingin dicapai adalah terciptanya keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat cianjur ingin mempertahankan keberadaannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tatakrama dan sopan santun dalam tata pergaulan hidup. Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maenpo, masyarakat Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam meningkatkan mutu kehidupan. Liliwatan, tidak semata-mata permainan beladiri dalam pencak silat, tetapi juga ditafsirkan sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang maksiat. Sedangkan peupeuhan atau pukulan ditafsirkan sebagai kekuatan di dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.