Budaya Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 33:
{{Utama|Pedagang Minangkabau}}
 
Orang Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos kewirausahaan cukupyang tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan serta bisnis yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh Indonesia. Selain itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan dari Malaysia dan Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan di Sumatera dan Selat Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad ke-18, para pedagang Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan rempah-rempah. Meskipun adapulaada pula yang menjual senjata ke [[Kerajaan Malaka]], namun jumlahnya tidak terlalu besar.<ref>Christine E. Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, 1983</ref> Pada awal abad ke-18, banyak pengusaha-pengusaha Minangkabau yang sukses berdagang rempah-rempah. Di Selat Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil, merupakan pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini jaringan perantauan Minangkabau dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah satu bentuk kewirausahaan yang sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu kelompok pengusaha yang memiliki jumlah aset cukup besar.<ref>Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya : Jaringan Asia</ref>. Pada masa-masa selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan wirausahawan-wirausahawan besar diantaranya [[Hasyim Ning]], [[Agus Musin Dasaad]], [[Rahman Tamin]], [[Rukmini Zainal Abidin]], [[Muhammad Arbie]], [[Anwar Sutan Saidi]], [[Datuk Hakim Thantawi]], [[Abdul Latief]], [[Fahmi Idris]], [[Basrizal Koto]], [[Oesman Sapta]] dan lain-lain. Pada masa orde baru pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami situasi yang tidak menguntungkan karena tiadanya keberpihakan penguasa orde baru kepada pengusaha pribumi.
 
==== Demokrasi ====
Produk budaya Minangkabau yang juga menonjol ialah sikap demokratis pada masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena sistem pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari yang otonom, dimana pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat yang mengatakan bahwa "bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". [[Abdurrahman Wahid]] dan [[Nurcholish Madjid]] pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang berbunyi ''Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan'' ditengarai berasal dari semangat demokrasi Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup di tengah-tengah permusyawaratan yang terwakilkan.