Restoran Padang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Afandri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Afandri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Restoran Padang''' adalah sebutan untuk usaha [[rumah makan]] di [[Indonesia]] yang khusus menyajikan [[masakan Padang]], yaitu masakan yang berasal dari daerah [[Minangkabau]]. Makanan populer yang disajikan di restoran Padang antara lain [[Rendang]], [[Gulai Gajebo]], [[Soto Padang]], [[Dendeng Balado]], dan [[Gulai Kepala Ikan Kakap]]. Dalam setiap penyajiannya tidak lupa pula dihidangkan [[sambal balado]] sebagai perangsang makan.
[[Gambar:padang_waiters.jpg|thumb|]]
 
==Pengelolaan==
Pada umumnya manajemen restoran Padang dikelola oleh keluarga atau kaum kerabat sekampung. Pengelola restoran Padang banyak menganut falsafah Minang yang demokratis, ''seperti berat sama dipikul, ringan sama dijinjing''. Hasil keuntungan biasanya dibagikan setiap 100 hari kerja dengan sistem bagi hasil. Untuk memahami pengelolaan restoran, setiap karyawan baruharus biasanyamelewati proses pengkaderan lengkap khas rumah makan. Biasanya karier mereka dimulai sebagaidari pencuci piring, kemudian meningkat sebagai penyiap makanan, pelayan dantamu, kasir., hingga menjadi manajer.
 
[[Pelayan]] restoran Padang umumnya [[pria]]. Jarang sekali profesi pelayan restoran Padang dipegang oleh [[wanita]]. Hal ini tingginya kedudukan wanita dalam [[adat]] [[Minangkabau]]. Pelayan restoran Padang mempunyai keunikan dalam menyajikan hidangan.Mereka akan membawa sejumlah [[piring]] hidangan secara sekaligus dengan bertingkat-tingkat/bertumpuk-tumpuk dengan kedua belah atau sebelah tangan saja. Hal ini merupakan atraksi yang cukup menarik bagi para pengunjungnya.
 
Baris 15:
Restoran ini menawarkan jenis masakan seperti [[rendang]], [[gulai gajebo]], [[soto Padang]], [[dendeng balado]], dan [[gulai kepala ikan kakap]]. Dalam setiap penyajiannya tidak lupa pula dihidangkan [[sambal balado]] sebagai perangsang makan. Soal rasa itulah yang boleh jadi membuat restoran Padang terus berkembang di tengah beragam jajanan impor.
 
Demi cita rasa itu pula, konon banyak restoran Padang yang masih mengimpor bahan dari ranah Minang. Restoran Sari Ratu yang membuka usaha di 12 pusat perbelanjaan di [[Jakarta]] misalnya, mendatangkan telor bebek dari Sumatera Barat. Menurut Direktur Sari Ratu, telor itu dihasilkan oleh bebek yang digembalakan dan memakan pakan alami. Para bebek tersebut dipercaya menghasilkan rasa telor yang lebih enak dibanding bebek yang mengonsumsi pakan buatan pabrik. Demikian pula bahan baku kelapa, yang juga didatangkan dari Sumatera Barat, yang katanya berpengaruh pada rasa dan warna santan.
 
Restoran Citra Bundo di [[Semarang]] juga mempertahankan otentisitas rasa padang dengan mendatangkan racikan bumbu kering dari kota [[Padang]]. Pengelola restoran Padang juga mempertahankan keaslian rasa masakan Minang dengan menggunakan koki dari Sumatera Barat. Atau setidaknya mereka meminta bantuan "lidah orisinal" untuk mengontrol kualitas masakan. Dan ternyata, di antara mereka ada yang meminta jasa para ibu yang memang terlatih soal icip-icip rasa. Rahimi Sutan (75), lelaki asal Payakumbuh, yang mendirikan restoran padang Natrabu pada 1960 misalnya, mengajak ibu kandungnya sebagai pengontrol rasa di masa awal beroporesinya Natrabu. Begitu juga Sari Ratu dibantu Hajjah Rosmaiyar (59) yang kelahiran Batusangkar, sebagai pengontrol keaslian rasa.
 
"Ibu hobi masak dan bisa membuat masakan minang. Orang Minang itu wanitanya mengerti dapur, hingga turun temurun mereka pandai memasak. Jadi, lidah mereka tidak bisa ditipu," kata Rama tentang sang ibu yang ikut mengawasi kualitas rasa.
 
Masih soal rasa, beberapa pengelola restoran perlu mempertimbangkan tabiat lidah konsumen orang-orang di luar komunitas Minang. Sari Ratu dan Natrabu misalnya, hanya mentoleransi tingkat kepedasan alias kadar cabai dalam sambal.
 
"Di Jakarta kan tidak semuanya orang Minang. Maka rasa disesuaikan, yaitu dengan mengurangi pedas. Sekarang lidah orang asing sudah mau rasa Minang kok," kata Rahimi Sutan yang bercita-cita membuka cabang di Amerika.
 
Di luar urusan pedas yang relatif itu, pengelola warung padang tetap menjaga keaslian rasa dan tidak berkompromi dengan rasa lokal. Misalnya selera rasa "wong" Jawa Tengah yang konon cenderung menyukai yang manis-manis.
 
"Tidak seperti rumah makan padang lainnya di Jawa Tengah, Citra Bundo tetap mempertahankan kekhasan rasa Padang. Kami tidak mau mengubah masakan kami menjadi lebih manis," kata Robby dari Citra Bundo yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Semarang.
 
Untuk menjaga keaslian rasa, di antara pemilik warung padang saling bertukar resep. Hal ini dilakukan para pengelola warung padang di Bali yang tergabung dalam Asosiasi Rumah Makan Minang (Armina). Rasa memang tidak akan menjadi seragam karena mereka tetap mempunyai ciri khas masing-masing sesuai asal pemilik warung.
 
"Ciri khas masakan daerah Solok itu misalnya, rendang lebih hitam, sedang rendang dari Bukittinggi itu biasanya lebih cokelat. Gulai kepala ikan biasanya lebih banyak berasal dari Padangpariaman," kata Yasril Kelana, pria asal Desa Sulit Air, Solok, yang membuka rumah makan minang di Denpasar, Bali, sejak 28 tahun silam.
 
Konsumen dengan lidah terlatih memang dapat mendeteksi rasa yang dianggap melenceng dari pakem rasa asli masakan minang. Elly Kasim (59), penyanyi asal ranah Minang era 1960-an itu, misalnya, menjumpai rasa minang yang telah berubah pada beberapa warung padang di Jakarta.
 
"Masakan minang itu tak dapat dilepaskan dari santan dan cabe. Di Jakarta ada yang disederhanakan, ada yang dinasionalkan dan tidak seperti di Padang. Pedasnya dikurangi, gulai kepala ikan santannya sudah diencerkan," kata Elly Kasim yang dikenal dengan lagu Bareh Solok.
 
PEDAS atau agak pedas, kental atau setengah kental, yang jelas rumah makan padang terus ramai dikunjungi orang. Warung padang menjadi lahan bisnis yang menurut pengalaman pengelolanya terbukti tak tergoyahkan oleh krisis ekonomi manapun. Rahimi Sutan, yang juga menjalankan bisnis biro perjalanan Natrabu itu, mengakui, bisnis rumah makannya tidak goyah oleh situasi ekonomi.
 
"Bagaimana pun keadaan dunia, orang tetap mau makan. Kalau makanan tidak habis terjual, kan masih bisa dimakan keluarga," kata Rahimi.
 
Daya tahan rumah makan padang tentu bukan sekadar karena menjual makanan yang dibutuhkan orang, tetapi juga pada urusan manajemen. Sarwono Yudo Husodo, bekas menteri yang kini "jualan" nasi padang lewat empat restoran Sederhana itu, melihat demokratisnya pengelolaan rumah tangga warung padang.
 
"Yang menarik dari manajemen restoran padang adalah para karyawan digaji tidak berdasar jam kerja, tapi berdasar apa yang telah mereka hasilkan," kata Siswono yang membuka restoran padang Sederhana di Niaga Tower dan BII Plaza, keduanya di Jalan Sudirman, Jakarta.
 
Kebanyakan pemilik rumah makan padang memang menerapkan manajemen serupa. Siswono menjelaskan manajemen warung padang yang prinsipnya adalah pemerataan. Hasil penjualan dipotong biaya produksi. Hasilnya kemudian dibagi dua bagian berdasarkan kesepakatan. "Uang bagian karyawan itu lalu dibagi berdasarkan indeks prestasi yang dimiliki masing-masing karyawan."
 
Cara seperti ini, kata Siswono, akan mendorong karyawan untuk berprestasi. Mereka akan berusaha melayani tamu sebaik-baiknya agar tamu mau datang kembali. Sistem pembagian gaya fifty-fifty serupa itu juga diterapkan Sari Ratu dan Natrabu. Cara itu menjadikan karyawan merasa ikut memiliki perusahaan.
 
"Kalau ada satu piring yang pecah, maka itu akan menjadi beban kami semua. Jadi, para karyawan saling mengingatkan dan budaya kontrol pada diri sendiri itu makin kuat," kata Rama dari Sari Ratu.
 
Cara semacam itu diakui Rahimi Sutan sebagai salah satu kunci sukses Natrabu. Rahimi memperlakukan awak rumah makan sebagai kawan kerja, partner, dan bukannya pegawai.
 
"Kalau keuntungan banyak, semua juga dapat banyak. Ibaratnya, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Itu yang membuat rumah makan tidak guncang oleh krisis," kata Rahimi.
 
Natrabu secara berkala juga mengajak para awak restoran untuk berdiskusi membicarakan masalah pekerjaan. Mereka boleh menyampaikan keluhan atau kritik terhadap hasil atau cara kerja. Jika seseorang karyawan diberhentikan, kata Rahimi, maka itu merupakan kesepakatan bersama seluruh karyawan.
 
"Jauh sebelum orang ramai-ramai teriak reformasi, kami rumah makan minang sudah demokratis. Jadi, kalau mau belajar demokrasi, pelajari saja manajemen restoran minang," seloroh Rahimi.
 
Tanpa jargon-jargon yang muluk-muluk, bisnis warung padang diam-diam juga menggerakkan ekonomi rakyat. Di situ terlibat banyak pihak, mulai peternak bebek, petani sayur, sampai para pemasok kebutuhan yang berkaitan dengan bisnis rumah makan. Sari Ratu misalnya, bekerja sama dengan sekitar 100 pemasok kebutuhan.
 
Sekadar gambaran, Sari Ratu setiap bulannya mengolah sekitar dua ton daging sapi, 25.000 ekor ayam, 20.000 butir telor bebek, dan 10 ton beras. Jumlah bahan itu digunakan untuk memasok 12 cabang Sari Ratu di Jakarta. Untuk telor, mereka mendapat pasokan dari petani bebek di Sumatera Barat. Sari Ratu juga melibatkan sekitar 250 orang tenaga kerja mulai dari tenaga cuci piring sampai staf administrasi.
 
Banyak karyawan rumah makan padang harus melewati proses "pengkaderan" lengkap khas rumah makan. Ace Iskandar, yang kini menjadi manajer operasional Natrabu, memulai kariernya sebagai tukang cuci piring. Setahun kemudian dia menjadi penyiap sari buah, lalu beralih ke bagian pelayanan tamu, dan staf administrasi, sampai kemudian menjadi manajer.
 
Restoran Citra Bundo di [[Semarang]] juga mempertahankan otentisitas rasa padang dengan mendatangkan racikan bumbu kering dari kota [[Padang]]. Pengelola restoran Padang juga mempertahankan keaslian rasa masakan Minang dengan menggunakan koki dari Sumatera Barat. Atau setidaknya mereka meminta bantuan "lidah orisinal" untuk mengontrol kualitas masakan. Dan ternyata, di antara mereka ada yang meminta jasa para ibu yang memang terlatih soal icip-icip rasa. Rahimi Sutan (75), lelaki asal Payakumbuh, yang mendirikan restoran padang Natrabu pada 1960 misalnya, mengajak ibu kandungnya sebagai pengontrol rasa di masa awal beroporesinya Natrabu. Begitu juga Sari Ratu dibantu Hajjah Rosmaiyar (59) yang kelahiran Batusangkar, sebagai pengontrol keaslian rasa.
Warung padang juga menjadi penampungan tenaga kerja ketika di beberapa wilayah negeri ini dilanda konflik. Yasril Kelana, pemilik rumah makan padang di Bali, menceritakan bagaimana perantau Minang di daerah konflik itu kehilangan pekerjaan. "Mereka mengungsi di Bali dan membuka rumah makan. Kami sangat bersyukur daripada mereka jadi penganggur, mereka bisa berusaha," kata Yasril, yang sebelumnya pernah berdagang pakaian di Jakarta.
Rahimi Sutan (75), pria asal [[Payakumbuh]] yang mendirikan restoran Padang Natrabu pada [[1960]] misalnya, mengajak ibu kandungnya sebagai pengontrol rasa di masa awal beroporesinya Natrabu.
 
Masih soal rasa, beberapaBeberapa pengelola restoran perlu mempertimbangkan tabiat lidah konsumen orang-orang di luar komunitas Minang. Sari Ratu dan Natrabu misalnya, hanya mentoleransi tingkat kepedasan alias kadar cabai dalam sambal. Di luar urusan pedas yang relatif itu, pengelola restoran Padang tetap menjaga keaslian rasa dan tidak berkompromi dengan rasa lokal.
Begitulah rendang dan masakan minang lainnya diolah dan dijual orang-orang yang tangguh menghidupi diri dan banyak orang lain. Selain itu, mereka juga menghidupkan selera banyak orang yang sering berucap tambo ciek! ketika selera mereka terpuaskan di meja makan. Tambo ciek!
 
==Lokasi==
Hampir di setiap titik strategis di kota-kota besar di Indonesia, dapat kita jumpai restoran Padang. Selain di tepi jalan, restoran Padang juga banyak dijumpai di [[pusat-pusat perbelanjaan]].
 
==Lihat juga==