Merantau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jayrangkoto (bicara | kontrib)
Jayrangkoto (bicara | kontrib)
Baris 30:
Suku [[Aneuk Jamee]] di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad abad yang lalu. [[Cut Nyak Dhien]] dan [[Teuku Umar]] yang dikenal sebagai pejuang gigih dan dianugerahi gelar [[pahlawan nasional]] oleh pemerintah [[Indonesia]] adalah anak dan keponakan dari Nanta Setia seorang [[Uleebalang]] VI [[Mukim (Aceh)|Mukim]], keturunan seorang perantau Minang yang juga jadi uleebalang di [[Kesultanan Aceh]] pada abad ke 18.
 
Dengan dukungan raja [[Pagaruyung]] Minangkabau, pada abad ke 15 perantau Minangkabau sudah mulai bermukim di [[Negeri Sembilan]] [[semenanjung Malaya]]. Komunitas keturunan perantau Minangkabau di Negeri Sembilan yang populasinya cukup banyak akhirnya menjadi sebuah kerajaan dengan raja pertamanya [[Raja Melewar]] yang diutus langsung dari Pagaruyung Minangkabau. Pada pertengahan abad ke 20 seorang Raja Negeri Sembilan yang keturunan Minangkabau [[Abdul Rahman (Negeri Sembilan)|Tuanku Abdul Rahman]] diangkat menjadi raja Malaysia pertama dengan gelar '''''[[Yang di-Pertuan Agong]]'''''.
 
Empat orang putera raja Pagaruyung Minangkabau mengembara / merantau ke selatan dan mendirikan [[Kepaksian Sekala Brak]] di wilayah [[Lampung]] sekarang. Di [[Mindanao]] Selatan ([[Filipina]]) keturunan perantau Minangkabau dari ratusan tahun yang lalu masih ada sampai saat ini. Gelar bangsawan mereka "Ampatuan" yang berasal dari Pagaruyung / Minangkabau (Ampu Tuan) masih mereka pakai sampai sekarang. Di [[Sulawesi Selatan]] keturunan '''''Datuk Makotta Minangkabau''''' sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat [[Bugis]]-[[Makassar]] sejak ratusan tahun yang lalu.
 
Di pesisir barat [[Sumatera Utara]] mulai dari [[Natal]] sampai [[Sibolga]], Sorkam dan [[Barus]] keturunan Minangkabau telah bertransformasi dan telah berubah nama menjadi "Orang Pesisir". Dahulunya nenek moyang mereka berasal dari wilayah [[Painan]], [[Padang]] dan [[Pariaman]]. Sampai sekarang bahasa mereka hampir tak ada bedanya dengan [[bahasa Minangkabau]]. Saat masa jayanya Bandar [[Malaka]] pada abad ke 15 di semenanjung Malaya, di wilayah [[Kabupaten Batu Bara|Batu Bara]] dan [[Kabupaten Asahan|Asahan]] Sumatera Utara dulunya banyak bermukim komunitas Minangkabau dan menerapkan sistim adat Minangkabau yang '''''[[matrilineal]]''''' sebelum berubah jadi [[patrilineal]] atas desakan [[Sultan Deli]]. Saat ini keturunan Minangkabau tersebut telah lebur kedalam masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera Utara.
 
Tidak hanya di Negeri Sembilan perantau Minangkabau mendirikan kerajaan, pada akhir abad ke 14 seorang perantau Minang lainnya ''Raja Bagindo'' juga mendirikan [[Kesultanan Sulu]] di Filipina Selatan. [[Awang Alak Betatar]] pendiri [[Kesultanan Brunei]] disebutkan berasal dari Minangkabau juga, bahkan saat acara peresmian replika [[Istana Pagaruyung]] di tahun 80 an Sultan Brunei [[Hassanal Bolkiah]] juga ikut hadir dan sempat mengatakan bahwa leluhurnya berasal dari Pagaruyung Minangkabau.
 
Kalau ditelusuri lebih jauh lagi ke belakang, sebuah peninggalan sejarah dari abad ke 7 masehi yaitu [[prasasti Kedukan Bukit]] di [[Palembang]] menyatakan bahwa [[Kerajaan Sriwijaya]] didirikan oleh [[Dapunta Hyang]] setelah bertolak dari '''''[[Minanga Tamwan]]''''' dengan membawa bala tentara sebanyak 20.000 orang. Ada ahli sejarah yang berpendapat bahwa Minanga Tamwan zaman kuno yang berpusat di hulu sungai [[Batang Hari]] atau di hulu sungai [[Kampar]] itu adalah Minangkabau sekarang. Mengenai hal ini memang masih belum ada kesamaan pendapat di antara para ahli sejarah, ada yang berpendapat Dapunta Hyang bertolak dari Minanga Tamwan kearah selatan, lalu mendirikan wanua (kerajaan Sriwijaya) setelah menemukan tempat yang dianggap tepat. Sedangkan ahli yang lain berpendapat Minanga Tamwan adalah kerajaan taklukan Dapunta Hyang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pendapat yang pertama dari para ahli sejarah tersebut benar adanya mengingat prestasi yang dicapai orang orang Minangkabau dalam petualangan perantauannya baik dimasa lalu maupun dimasa kini.
 
Selain perantauan yang bersifat kolektif dan agak masif yang kemudian hari menjadi suatu komunitas bahkan kerajaan, juga ada perantau individual yang merantau ke wilayah yang tidak lazim dijadikan tujuan perantauan orang Minang pada masa itu. Selain Datuk Makotta Minangkabau juga ada tiga orang Datuk yang ulama yaitu ''[[Datuk Ri Bandang]]'', ''Datuk Ri Pattimang'', ''Datuk Ri Tiro'' merantau ke wilayah timur dan menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara pada awal abad ke 17. Sampai saat ini masyarakat setempat tetap mengenang jasa jasa mereka. Di beberapa wilayah [[Kalimantan Timur]] dan [[Sulawesi Tengah]], ''Tuan Tunggang Parangan'' dan ''Datuk Karama'' dikenang masyarakat setempat sebagai pembawa ajaran Islam kedaerah itu.
 
Di bidang kemiliteran tiga laki laki Minang merantau jauh sampai ke [[Timur Tengah]] dan menjadi bagian dari pasukan '''''Janissary Turki''''' yang terkenal hebat di zamannya. Pada awal abad 19, Kolonel [[Haji Piobang]], seorang perwira kavaleri dipercaya menjadi panglima dari salah satu pasukan Janissary. Ia berhasil mengalahkan salah satu pasukan [[Napoleon]] dalam ''perang Piramid'' di [[Mesir]]. Perwira lainnya ''Mayor H. Sumanik'' menjadi ahli perang padang pasir bersama ''H. Miskin''. Dikemudian hari setelah pulang dari perantauan ke Ranah Minang ketiga anggota pasukan Janissary Turki itu berperan besar sebagai pendiri pasukan militer dalam [[perang Padri]].
 
===== Filosofi dan Tujuan =====