Ken Arok: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 11:
 
Siapakah sebenarnya Ken Arok itu? Berdasarkan penelusuran lisan dan cerita masyarakat diketahui bahwa Ken Arok adalah putra Ken Endok. Ken Endok adalah gadis dari dusun Pangkur dekat Jiput (sekarang Jiwut)-Nglegok-Blitar yang menikah dengan Gajah Para dari Campara (sekarang Bacem)–Lodoyo-Blitar. Sepasang suami-istri ini adalah petani kaya yang menggarap sawah di Ayuga (sekarang Njegu)-Lodoyo-Blitar. Sebelum Ken Arok lahir, Gajah Para telah meninggal dunia. Masa kecilnya, Ken Arok dibuang oleh ibunya ke kuburan, kemudian ditemukan dan diasuh oleh perampok bernama Lembong dari Jiput (sekarang Jiwut)-Nglegok-Blitar Utara. Ken Arok dikenal sebagai pemuda nakal, suka berjudi menghabiskan harta orang tuanya, tetapi ia juga belajar baca-tulis, membuat perhiasan, dan belajar ilmu agama.
Dalam masa pertumbuhannya ia berkelana dan pernah diasuh oleh (a) Lembong seorang perampok dari Jiwut-Nglegok-Blitar, (b) Bango Samparan seorang penjudi dari Karuman (sekarang Garum)-Blitar, (c) Tuan Sahaya seorang guru baca-tulis, ilmu hari, penanggalan, dan ilmu sastra dari dukuh Kapundhungan-Sagenggeng (sekarang Senggreng-Pakisaji)-Malang, (d) Empu Palot, seorang tukang perhiasan dari Turyantapada (sekarang Turen)-Malang, dan (e) Dang Hyang Lohgawe seorang brahmana dari Talloka-Timur Gunung Kawi (sekarang Talok-Turen-Malang), yang mengikuti Ken Arok merantau ke Tumapel-Singasari-Malang untuk mengabdi kepada Akuwu (setingkat bupati) Tunggul Ametung. Sebagai bukti bahwa Ken Arok berasal dari Jiwut-Nglegok-Blitar, berikut ini temuan Ferry Riyandika (2011) tentangmenemukan petilasan Ken Arok yang masih dikenali oleh masyarakat Nglegok-Blitar.
 
Dalam kisah Kitab Pararaton disebutkan bahwa nama Jiput merupakan sebuah desa tempat lahirnya pemuda yang bersedia menjadi korban untuk pintu gerbang asrama Mpu Tapawangkeng di Bulalak agar dijelmakan ke timur Kawi yang selanjutnya akan menurunkan anak bernama Ken Angrok (Padmapuspita, 1966: 47). Dimanakah letak Desa Djiput? Alih-alih, di daerah Blitar terdapat sebuah petilasan Ken Arok. Pada bulan November tahun 2009 akhirnya saya meluncur dan mencari keletakan petilasan tersebut. Tidak susah untuk mendapatkannya,ternyata petilasan tersebut kini berada di Desa Jiwut, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Nama Desa Jiwut (Djiwut) tidak menutup kemungkinan dahulu bernama Djiput. Menurut penuturan warga setempat masih percaya bahwa Desa Jiwut merupakan tempat petilasan dari seorang tokoh yang bernama Ken Angrok. Khususnya di Dusun Lumbung, Desa Jiwut pernah terdapat beberapa tinggal-tinggalan arkeologis berupa makara, jaladwara dan batu andesit yang berbentuk seperti piramida (Knebel, 1908: 75-76).
Baris 28:
Dari persamaan uraian dari kedua Kitab karya sastra tersebut maka pengorbanan yang dimaksudkan dalam Pararaton adalah ruwatan atau pengobatan yang diberitakan dalam Tantu Panggelaran. Selanjutnya Pararaton menyebutkan bahwa Pemuda tersebut menjelma menjadi seorang tokoh yang bernama Ken Arok di Timur Kawi. Dari uraian di atas kiranya kita berpikir sejenak dari mana asal Ken Arok? Dari gambaran di atas bahwa dia berasal dari Daha yang mengungsi ke Barat Kawi dan menjadi besar atau raja di Timur Kawi. Jadi, Ken Arok adalah anak dari penguasa di Daha. Dari Petilasan Ken Arok inilah kita mengetahui siapa Ken Arok, namun kini asal Ken Arok nasibnya tinggal kenangan tanpa ada perawatan dan terlupakan oleh sang waktu.
 
Berdasarkan bukti petilasan, cerita lisan masyarakat Jiwut, kitab Pararaton, dan kitab Tantu Pagelaran, dapat diambil penafsiran bahwa:sebagai berikut. (1) Ken Arok adalah anak Gajah Para, seorang Penguasa Daerah Campara (Bacem)-Lodoyo-Blitar. Ibunya, Ken Endok, direbut Raja Kediri. Saat itu Ken Endok adalah temanten baru yang telah menikah dengan Gajah Para, lelaki dari Desa Campara (Bacem)-Lodoyo-Blitar, temanten baru selama 40 hari. Dengan demikian analisis yang menyatakan bahwa Ken Endok diperkosa Tunggul Ametung, “perlu dipertanyakan ulang”. Pemerkosaan oleh Tunggul Ametung tidak logis karena Tunggul Ametung tidak mungkin berburu di hutan sekitar Blitar karena waktu itu Blitar menjadi wilayah kerajaan Daha (Kediri), dan Tumapel menjadi wilayah Kerajaan Jenggala, dua kerajaan yang sedang bermusuhan (walaupun bersaudara kandung sama-sama keturunan Airlangga).
 
(2) Ken Arok adalah anak raja Kediri hasil hubungan dengan Ken Endok putri dari dusun Pangkur Kelurahan Jiwut Kecamatan Nglegok kabupaten Blitar yang tidak disetujui oleh permaisuri. Saat itu hutan Jiwut-Blitar di Gunung Kelud lereng selatan merupakan wilayah kerajaan Kediri. Saat hubungan-cinta-paksa dengan raja Daha (Sri Kameswara), Ken Endhok telah bersuami (temanten baru) dengan Gajah Para. Gajah Para adalah seorang pemimpin bawahan kerajaan Jenggala setara dengan wedana (“Gajah”) di Campara, sehingga terkenal dengan sebutan Gajah Para, yang sekarang ini tepatnya di wilayah Bacem-Lodoyo-Blitar. Dengan demikian, sebenarnya Ken Arok adalah anak laki-laki yang sah antara Gajah Para dan Ken Endhok. Beberapa hari setelah Ken Endhok “dikumpuli” Kameswara, Gajah Para meninggal dunia, tanpa ada penjelasan karena sakit atau kena apa, sehingga misterius. Sejumlah analisis yang mengatakan bahwa Ken Arok itu dari Malang, adalah runutan sejarah yang belum tuntas. Pada saat itu nama “Malang” belum dipakai, yang ada adalah nama Tumapel atau Singasari. Dengan demikian, Ken Arok bukanlah rakyat biasa tetapi keturunan raja atau anak bangsawan Jenggala (Gajah Para) dengan seorang putri keluarga brahmana di dusun Pangkur Desa Jiwut-Nglegok-Blitar (sebelah selatan Candi Penataran), yang situsnya masih bisa ditemukan dan masyarakat Jiwut masih melestarikannya lewat tradisi lisan.
 
Runtuhnya kekuasaan Jawa seperti lazimnya, bersumber dari masalah internal keluarga, seperti yang dialami kerajaan Kediri, Kertajaya dibunuh saudaranya lain ibu, yakni Ken Arok saat peperangan di Ganter (Gentor)-Ponggok-Blitar. Tempat peperangan itu diabadikan sebagai makam Ken Arok sebagai penganut Hindu-Syiwa di dukuh Genengan-Kalicilik-desa Candirejo-Ponggok-Blitar. Menurut penelitian para ahli, makam itu pernah diperbaiki oleh Raja Hayam Wuruk era Majapahit.