Tuan Direktur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Crisco 1492 (bicara | kontrib) →Themes: terjemahakan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 25:
==Plot==
Tuan Direktur menggunakan alur maju yang terbagi ke dalam dua belas bab.{{sfn|Mutiara|Yetti|Mulyani|1998|p=172}} Novel ini bercerita tentang Jazuli, yang meninggalkan kampung halamannya di [[Banjarmasin]] untuk pergi ke [[Surabaya]]. Dengan bekerja sebagai pedagang [[emas]], ia dengan cepat mendapatkan kekayaan yang besar. Namun, hal ini membuat ia yang semua taat kepada agama dan rendah hati berubah menjadi congkak dan materialistis. Ia menyebut dirinya sebagai "Tuan Direktur" dan mengelilingi dirinya dengan para pengumpak seperti Kadri, Margono, dan Haji Salmi. Ia mencoba membeli tanah Jasin untuk membangun pabrik, tetapi ditolak.
Kadri uses Jazuli's belief in spirits to control him, manipulating his boss to fire numerous employees – including Fauzi, who is able to become a successful businessman with Jasin's help. In an effort to eliminate Jasin, Kadri calls the police to the latter's house, claiming that Jasin is holding clandestine, anti-government meetings. When the police come, Jazuli, who has come to Jasin's house to try and buy the land, is arrested with a number of other people.
After two days in holding, Jazuli
==
[[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]],
At the time ''Tuan Direktur'' was written, Surabaya was one of the richer cities in the [[Dutch East Indies]], serving as both a port into the colony and as a stopping point for trade traffic headed to Australia. The city's wealth was decisively contrasted with the fate of the lower classes, who were not benefited by this trade. Writing for the Indonesian Department of Education and Culture, Putri Minerva Mutiara, Erli Yetti, and Veni Mulyani wrote that this may have influenced Hamka to set his story in the city.{{sfn|Mutiara|Yetti|Mulyani|1998|p=164}}
Baris 42 ⟶ 41:
Abdul Rahman Abdul Aziz, yang menulis tentang ideologi Islam Hamka pada tahun 2009, mencatat sejumlah ajaran Islam yang dituangkan dalam ''Tuan Direktur''. Ia menulis bahwa novel ini mencerminkan nilai Islam tentang kesederhanaan sebagai cara menghindari nafsu akan benda,{{sfn|Aziz|2009|p=130}} dan biarpun bekerja keras itu memang perlu, manusia tidak boleh mengutamakan pencarian harta.{{sfn|Aziz|2009|p=132}} Aziz, setelah mengutip bagian cerita di mana Jasin menyuruh orang lain menjual satu baju yang mahal lalu membeli beberapa baju yang lebih murah untuk orang-orang yang tidak mampu, juga berpendapat bahwa ada konsep persaudaraan dalam novel ini; manusia dimaksud untuk bekerja sama dalam menghadapi kesulitan, bukan mengutamakan kepentingan mereka sendiri. Demikian pula, harta selayaknya tidak dinilai lebih penting daripada teman dan kenalan.{{sfn|Aziz|2009|p=134}} Suatu poin terakhir, Aziz menjelaskan bahwa novel ini menyampaikan pesan agar orang modern jangan percaya pada [[takhyul]].{{sfn|Aziz|2009|p=143}}
==
''Tuan Direktur'' diterbitkan pertama kali sebagai cerita bersambung dalam majalah yang dipimpin oleh Hamka, ''Pedoman Masjarakat''{{sfn|Oshikawa|1990|p=19}}{{sfn|Siregar|1964|p=124}} sebelum akhirnya diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]], penerbit nasional Hindia-Belanda, pada tahun 1939. Sampai tahun 1998, novel ini telah mengalami empat kali cetakan dalam [[bahasa Indonesia]] dan [[bahasa Malaysia|Malaysia]].{{sfn|Mutiara|Yetti|Mulyani|1998|p=162}}
Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda, [[A. Teeuw]] menulis, ''Tuan Direktur'' sebagai karya yang menarik, tetapi Hamka tidak dapat dianggap sebagai penulis yang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.{{sfn|Teeuw|1980|p=107}}
==
{{reflist|30em}}
==
{{refbegin|
*{{cite journal
|title=Nilai Mencapai Kehidupan Sejahtera: Pandangan Hamka
|