Sekaten: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
RedBot (bicara | kontrib)
k r2.7.2) (bot Mengubah: jv:Sekatèn
Baris 8:
 
Acara puncak peringatan '''Sekaten''' ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
Istilah SEKATEN berasal dari istilah Kredo dalam agama islam yaitu Syahadatain yang berarti Dua Kalimat Syahadat, karena lidah masyarakat Jawa yang kesulitan dalam pengucapan kata-kata Bahasa Arab, Syahadatain dilafalkan menjadi SEKATEN dalam Bahasa Jawa.
 
 
SEKATEN merupakan upacara hasil akulturasi Tradisi Lokal dengan Tradisi Islam, dalam serat babat disebutkan pertama kali munculnya upacara ini pada masa Raden Patah menjadi
Adipati Kabupaten Bintoro (Demak), Demak yang menjadi kerajaan Islam pertama kali di Jawa setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi.
 
 
Pada masa itu masyarakat jawa mayoritas memeluk agama hindu dan budha yang sangat menyukai Kesenian Gamelan, dari situ Raden Patah bersama Para Wali memanfaatkan Gamelan untuk menarik minat masyarakat yang menyukai gamelan dengan memberi syarat mengucapkan dua kalimat syahadat (Syahadatain) sebagai tanda mereka masuk islam.
 
TRADISI SEKATEN biasa dilakukan tanggal 5/6 bulan Mulud (bulan Jawa) atau bulan Rabiul Awwal (Hijriah), selama tujuh hari untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W, Upacara ini dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga dari Keraton tepatnya dari Pendopo Ponconiti menuju Masjid Gedhe di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nagawilaga akan menempati sisi utara dari Masjid Gedhe, sementara Kyai Guntur madu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11/12 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut.
 
Dua hari sebelum acara puncak (Grebek Muludan), Tradisi Upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan,lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.
 
Tradisi Grebek Muludan, Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
 
=== Tumplak Wajik ===