Suku Batak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: mengosongkan halaman [ * ]
Baris 26:
|langs= [[Bahasa Batak Toba|Toba]]{{br}}[[Bahasa Batak Angkola|Angkola]]{{br}}[[Bahasa Batak Karo|Karo]]{{br}}[[Bahasa Batak Simalungun|Simalungun]]{{br}}[[Bahasa Batak Pakpak|Pakpak]]{{br}}[[Bahasa Batak Mandailing|Mandailing]]
|rels=[[Kristen]]{{br}}[[Islam]]{{br}}[[Parmalim]]{{br}}[[Animisme]]
|related=[[Suku Alas]]{{br}}[[Suku Nias]]{{br}}[[Suku Melayu]]{{br}}[[Suku Minangkabau]]{{br}}[[Suku Bugis]]{{br}}[[Suku Dayak]]{{br}}[[Suku Rimba]]{{br}}[[Suku Gayo]]{{br}}[[Suku Singkil]]{{br}}[[Suku Aceh]]}}
 
'''Batak''' merupakan salah satu [[suku bangsa]] di [[Indonesia]]. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari [[Tapanuli]] dan [[Sumatera Timur]], di [[Sumatera Utara]]. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: [[Batak Toba]], [[Batak Karo]], [[Batak Pakpak]], [[Batak Simalungun]], [[Batak Angkola]], dan [[Batak Mandailing]].
Baris 140:
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
 
=== Ritual kanibalisme ===
[[Berkas:Batak Warriors 60011135 edit.jpg|thumb|Pejuang Batak]]
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat ''tondi'' pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya ''tondi''.
 
Dalam memoir [[Marco Polo]] yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".<ref>Polo M, [[Henry Yule|Yule H]], Cordier H. [http://www.gutenberg.org/browse/authors/y#a5823 ''The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition,''] Dover Pubns, 1993, Vol. II, Chapter X, p. 366.</ref> Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
 
[[Niccolò Da Conti]] (1395-1469), seorang [[Venesia]] yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di [[Asia Tenggara]] (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".<ref>''The Travels of Nicolò Conte'' [sic] ''in the East in the Early Part of the Fifteenth Century'' [[Hakluyt Society]] xxii (London, 1857)</ref><ref>[http://www.amazon.com/dp/050097392X Sibeth A, Kozok U, Ginting JR. ''The Batak: Peoples of the Island of Sumatra: Living with Ancestors.'' New York: Thames and Hudson, (1991) p. 16.]</ref>
 
[[Thomas Stamford Raffles]] pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.<ref>Nigel Barley (ed.), ''The Golden Sword: Stamford Raffles and the East'', British Museum Press, 1999 (exhibition catalogue). ISBN 0-7141-2542-3.</ref> Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".<ref>[http://www.amazon.com/dp/0805019685 Barley N. ''The Duke of Puddle Dock: Travels in the Footsteps of Stamford Raffles.'' 1st American ed. New York: H. Holt, 1992, p. 112.]</ref>
 
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.<ref>Junghuhn, F., ''Die Batta-länder auf Sumatra,'' (1847) Vol. II, p. 249.</ref> Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.<ref>[http://books.google.com/books?id=BXMPAAAAYAAJ&dq=%22Die%20Battal%C3%A4nder%20auf%20Sumatra%2C%22&pg=PR7#v=onepage&q=&f=false Junghuhn, p. 87]</ref>
 
Oscar von Kessel mengunjungi [[Silindung]] di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.<ref>Von Kessel, O., "Erinnerungen an Sumatra," ''Das Ausland,'' Stuttgart (1854) 27:905-08.</ref>
 
[[Ida Pfeiffer]] mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".<ref>[http://www.amazon.com/dp/0217663761 Pfeiffer, Ida, ''A Lady's Second Journey Around the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States.'' New York, Harper & Brothers, 1856, p. 151.]</ref>
 
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.<ref>Sibeth, p. 19.</ref> Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.<ref>[http://www.amazon.com/dp/0472101765 Kipp RS. ''The early years of a Dutch Colonial Mission: the Karo Field.'' Ann Arbor: University of Michigan Press, 1990.]</ref>
 
== Tarombo ==
Baris 163 ⟶ 147:
 
== Kontroversi ==
Sebagian orang [[Karo]], [[Angkola]], dan [[Mandailing]] tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaanPerbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di [[Kota Medan]], perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
 
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),<ref>{{cite book | last =Perret | first =Daniel | authorlink = | coauthors = | title =La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est | publisher =Ecole francaise d'Extreme-Orient | date = | location = Paris | url = | doi = | isbn = | page = 316-325 }}</ref> dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).