== Kehidupan ==
Zakiah Daradjat lahir pada 6 November 1929 di Koto Marapak, [[IV Angkek, Agam|Ampek Angkek]], [[Kabupaten Agam|Agam]]. Ayahnya, Haji Daradjat Husain merupakan aktivis organisasi [[Muhammadiyah]] dan ibunya, Rafi'ah aktif di [[Sarekat Islam]]. Haji Daradjat Husain memiliki dua orang istri.{{sfn|Nata|2005|pp=233}} Dari Rafi'ah, istri pertama, lahir enam orang anak dan Zakiah adalah anak pertama, sedangkan dari istri kedua, Hajah Rasunah, lahir 5 anak.{{sfn|Ajisman|2011|pp=57}} Meskipun bukan berasal dari kalangan [[ulama]], sejak kecil Zakiah Daradjat telah ditempa pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat.{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=140140–145}} Ia sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama dan dilatih berpidato oleh ayahnya.{{sfn|BK3AM|1995|pp=505}}
Pada usia tujuh tahun, Zakiah sudah mulai memasuki sekolah. Pagi ia belajar di ''Standard School Muhammadiyah'' dan sorenya belajar lagi di [[Diniyah School]].{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=141140–145}} Semasa sekolah ia memperlihatkan minat cukup besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama.{{sfn|Nata|2005|pp=234}} Selain itu, saat masih duduk di bangku kelas empat SD, ia telah menunjukkan kebolehannya berbicara di muka umum.{{sfn|Ajisman|2011|pp=57}} Setelah taman pada 1941, Zakiah dimasukkan ke salah satu SMP di [[Padang Panjang]] sambil mengikuti sekolah agama di [[Kulliyatul Muballighat]].{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=142140–145}} Ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Kulliyatul Mubalighat kelak ikut mendorongnya untuk menjadi mubalig.{{sfn|Daradjat|1999|pp=4–6}}
Pada tahun 1951, ia menamatkan pendidikannya di SMA.{{sfn|Mahditama|2013}} Setelah itu, ia memutuskan meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke [[Yogyakarta]]. Di Yogyakarta, ia mendaftar ke dua perguruan tinggi dengan fakultas yang berbeda, yaitu Fakultas Tarbiyah [[Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta|Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta]] dan Fakultas Hukum [[Universitas Islam Indonesia]] (UII). Meskipun ia diterima di kedua fakultas tersebut, ia akhirnya hanya memilih mengambil Fakultas Tarbiyah PTAIN Yogyakarta atas saran kedua orang tuanya.{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=142}} Pada tahun 1956, ia menerima beasiswa dari [[Departemen Agama]] untuk melanjutkan pendidikan ke [[Mesir]].{{sfn|Nata|2005|pp=235}} Di Mesir, ia langsung diterima di Fakultas Pendidikan [[Universitas Ain Shams]], [[Kairo]] untuk program S-2.{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=145140–145}} Tesisnya tentang problema remaja di Indonesia mengantarnya meraih gelar MA pada tahun 1959, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca-sarjana dengan spesialisasi pendidikan. Tidak seperti teman-teman seangkatannya dari Indonesia, setelah menyelesaikan program S-2, Zakiah tidak langsung pulang. Ia justru malah melanjutkan program S-3 di universitas yang sama. Ketika menempuh program S-3, kesibukan Zakiah tidak hanya belajar. Pada tahun 1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, ia berhasil meraih gelar doktornya dalam bidang psikologi dengan spesialisasi psikoterapi dari Universitas Ain Shams.{{sfn|Ajisman|2011|pp=58}}{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=146146–154}}
== Karier ==
Setelah kembali ke [[Indonesia]] pada tahun 1964, Zakiah Daradjat mengabdikan dan mengembangkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat.{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=147146–154}} Sambil bekerja, Zakiah diberi ruangan khusus untuk membuka praktik konsultasi psikologi bagi karyawan [[Kementerian Agama Indonesia|Kementerian Agama]]. Pada masa ini untuk pertama kalinya Kementerian Agama mengenal dokter jiwa untuk membantu pegawai yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah pribadi, problema keluarga, dan anak-anak remaja. Karena semakin banyak klien yang datang, bahkan ada yang dari kalangan bukan pegawai Kementerian Agama, ia mulai membuka praktik sendiri di rumahnya di Wisma Sejahtera, Jalan Fatmawati, Cipete, [[Jakarta Selatan]] pada tahun 1965. Ketika diwawancara oleh ''[[Republika (surat kabar)|Republika]]'' pada tahun 1994, ia menuturkan, "Setiap hari, selama lima hari dalam sepekan, rata-rata saya menerima tiga hingga lima pasien, tanpa memandang apakah mereka dari golongan masyarakat mampu atau bukan. Seringkali saya tidak menerima bayaran apa-apa, karena memang tujuan saya untuk menolong sesama manusia.".{{sfn|Mahditama|2013}}
Pada 1967, Zakiah diangkat oleh [[Menteri Agama]] [[Saifuddin Zuhri]] sebagai Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi, Kementerian Agama. Pada periode selanjutnya, Zakiah Daradjat menjabat sebagai Direktur Pendidikan Agama mulai tahun 1972, dan tahun 1977 sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam.{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=149146–154}}{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=161}} Pemikiran Zakiah Daradjat di bidang pendidikan agama banyak mempengaruhi wajah sistem [[pendidikan di Indonesia]]. Semasa menjabat direktur di Kementerian Agama, Zakiah termasuk salah seorang yang membidani lahirnya kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri ([[Menteri Agama]], [[Daftar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia|Mendikbud]], dan [[Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia|Mendagri]]) pada tahun 1975, yaitu sewaktu jabatan [[Daftar Menteri Agama Indonesia|Menteri Agama]] diduduki oleh [[Mukti Ali]].{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=153146–154}} Melalui surat keputusan tersebut Zakiah menginginkan peningkatan penghargaan terhadap status [[madrasah]], salah satunya dengan memberikan pengetahuan umum 70 persen dan pengetahuan agama 30 persen.{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=154146–154}}{{sfn|Nata|2005|pp=237}} Aturan yang dipakai hingga kini di sekolah-sekolah agama Indonesia ini memungkinkan lulusan madrasah diterima di perguruan tinggi umum.{{sfn|Nasar|2013}}
Ketika menempati posisi sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam, seperti dituturkan cendikiawan [[Azyumardi Azra]], Zakiah Daradjat banyak melakukan sentuhan bagi pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).{{sfn|Jajat Burhanuddin|2002|pp=161}} Salah satu contoh, untuk mengatasi kekurangan guru bidang studi umum di madrasah-madrasah, Zakiah Daradjat membuka jurusan tadris pada IAIN dan menyusun rencana pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam yang menjadi referensi bagi IAIN seluruh Indonesia.{{sfn|Nata|2005|pp=238}} Melalui rencana pengembangan ini Kementerian Agama dapat meyakinkan [[Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]] (Bappenas) sehingga IAIN memperoleh anggaran yang relatif memadai.{{sfn|Nasar|2013}}
|