Bidah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
 
Pengertian Bid'ah
 
'''Pengertian Bid'ah'''
 
 
 
Baris 11 ⟶ 13:
 
'''Definisi Bid'ah'''
 
 
Baris 17 ⟶ 19:
 
 
'''Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi):'''
 
 
Baris 25 ⟶ 27:
 
 
'''Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat):'''
 
 
Baris 63 ⟶ 65:
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
 
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
 
Baris 70 ⟶ 73:
 
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya` Ulumuddin, juz 2, h. 248)
 
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum), "Bid'ah itu tebagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh…" di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata, "Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah). (lih. An-Nanawi dalam Al Adzkar)
(lih. An-Nanawi dalam Al Adzkar)
 
 
Baris 91 ⟶ 96:
 
"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".
 
Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
 
Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, belia menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW, "Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku." Juga sabda beliau lainnya, "Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…" Adapun hadits nabi SAW, "Setiap perkara baru adalah bid'ah" dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lih. Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)