Abah Anom: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 12:
Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, '''Abah Anom''' menikah dengan [[Euis Siti Ru’yanah]]. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Sepulang dari [[Makkah]], setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa [[Sunda]] dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh [[Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah]]. Bahkan beliaupun terkadang berbicara dalam bahasa [[Jawa]] dengan baik.
 
[[Abah Sepuh]] resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950.
 
Ketika [[Abah Sepuh]] Wafat, pada tahun 1956, '''Abah Anom''' harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat [[Abah Sepuh]] yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.