Kalifah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
AFP (bicara | kontrib)
tambahan dari wiki melayu (ms:Khilafah Islam)
Baris 3:
# gelar kepala agama dan pemimpin di negara [[Islam]]
# penguasa
Kholifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini :
* Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Sedangkan kholifah hanya didapatkan dengan bai'at dari umat secara ridho dan diliputi kebebasan memilih, dengan diliputi kebebasan dan paksaan.
 
:Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang kholifah tak memiliki hak istimewa, sama dengan rakyatnya. Kholifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syari'at Allah SWT atas mereka. Artinya, kholifah tetap tunduk dan terikat pada hukum syaro' dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan kepentingan umat.
* Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal:Parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang kholifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Kholifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum syaro', dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazholim.
 
:Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu. Sebaliknya, seorang kholifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum syaro' atau tidak. Selam masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi kholifah, sekalipun masa jabatannya panjang, seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan al-Bukhori;''Dengar dan taatilah, sekalipun yang memimpin kalian budak Habasyah, yang kepalanya seperti kismis.'' Dalam riwayat Muslim dari jalur Ummu al-Husain, ada ungkapan:''... selama ia masih memimpin kalian dengan Kitabullah.''
=Dalil al-Qur'an==
 
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
 
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
 
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, iaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara ''dalalatul iqtidha`'', bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
 
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
 
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
 
“Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
 
“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
 
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (''khitab'') Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (''Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi''). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
 
Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
 
==Dalil as-Sunnah tentang Kholifah==
Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
 
Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
 
Rasulullah SAW bersabda: “Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]
 
Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” [HR. Muslim].
 
Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
 
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (''ikhbar'') dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
 
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
 
Rasulullah SAW bersabda pula : “Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].
 
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
 
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
 
==Dalil Ijma’ Sahabat==
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
 
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajipan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
 
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
==Dalil Dari Kaidah Syar’iyah==
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
 
“Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.” Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
 
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
 
==Pendapat Para Ulama==
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
 
“Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya...”
 
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
 
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).”
 
Bahawa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajipan Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
 
Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah –seperti ''Al Islam Wa Usululul Hukm'' oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, ''Tidak Ada Negara Islam'' oleh Nurcholis Madjid—sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nas-nas syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah –dan agen-agennya iaitu para penguasa muslim yang zalim-- yang selalu memaksakan sekularisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi “ilmiah” atau studi “sosiohistoris-objektif”, dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut.
 
== Daftar Khalifah ==