Chen De Xiu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Okkisafire (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Okkisafire (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
'''Chen De Xiu''' ([[Hanzi]]=陈德修; [[pinyin]]= Chén Dé Xiū; [[Fujian]]/Hokkian: '''Tan Tik Siu''' ; [[Indonesia]]: Rama Moerti) adalah sastrawan, ahli pengobatan, dan seseorang berilmu tinggi semasa hidupnya. Beliau kini dipuja oleh berbagai kalangan, baik oleh warga China maupun penganut kepercayaan [[Kejawen]].<ref name="RSP">Redaksi Suara Pembaruan. 8 Desember 2012. Akses= 12 April 2013. [http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2012/12/08/files/search/searchtext.xml Suara Pembaruan], Hal. 6.</ref> Beliau tidak bisa makan daging semenjak kecil dan hidup suci melajang sepanjang hidupnya.<ref name="Sampokong">Yayasan Kelenteng Sampokong. "''Dewa-Dewi Kelenteng''", Semarang.</ref>
== Biografi ==
Baris 55:
Pondok di atas bukit hanya ditinggali oleh Tan Kwie Nio sendirian, kondisinya selalu tertutup rapat. Namun, konon ia dapat mengetahui siapa yang hendak menemuinya tanpa harus melihat. Saat mertua saudarinya menabuh bumbung sebagai tanda ada orang yang memohon izin untuk bertemu, Tan Kwie Nio akan membalas menabuh bumbung jika ia bersedia menemuinya. Menurut cerita, ia pernah berjalan kaki menuju [[Gunung Merbabu]] di [[Jawa Tengah]] dan kembali pulang ke [[Semarang]] hanya dalam tempo singkat.<ref name="scribd"/>
==Tan Tik Siu dan ilmu Kejawen==
Menurut ''Sjoerja Woelan'' yang mengaku sebagai keturunan ''Eyang Boeyoet'', guru ''ilmu sabda'' juga ''ilmu sangkan paraning dumadi'' yang dimiliki Tan Tik Sioe, semasa masih remaja Tan Tik Siu ditemukan anak-anak sebayanya dalam kondisi telantar di ujung Desa Sumberagung, Kecamatan Rejotangan, sekitar 30 km di timur [[Tulungagung, Tulungagung|Kota Tulungagung]], dekat Kecamatan [[Kademangan, Blitar]]. Namun, karena kulitnya yang putih, berbeda dengan anak-anak desa setempat yang umumnya berwarna coklat, kendati ia mengenakan pa-kaian lusuh, dengan cepat beritanya menyebar di seluruh pelosok desa.<ref name="RSP"/>
Kisah yang disampaikan ''Sumirin'', juru kunci generasi ketiga (setelah ''Seni'' dan putranya ''Tukirin'') yang menjaga gua Tan Tik Sioe di Sumberagung, Tan Tik Sioe sejak usia anak-anak ditemukan sejumlah anak-anak desa yang sedang menggembalakan kerbau dalam keadaan terlantar di dekat persawahan Desa Sumberagung. Tan Tik Sioe, yang dalam kisah itu diduga menyandang [[autis]], diambil sebagai anak angkat oleh seorang misionaris [[Belanda]] yang dikenal pula sebagai sastrawan. Nama ayah angkatnya disamarkan sebagai Budiman. Selain sebagai misionaris, ia juga pengelola kebun kelapa milik belanda di ''Onderneming Soemberagoeng Afdeeling Toeloengagoeng''. Dari ayah angkat, Tan Tik Sioe menguasai ilmu kesusasteraan yang kemudian dipublikasikan melalui media surat kabar terbitan Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.<ref name="RSP"/>
Selain diajar kesusastraan, Tan Tik Sioe juga diizinkan ayah angkatnya berguru kepada ''Eyang Boejoet'' yang dikenal memiliki ilmu [[kejawen]] tingkat tinggi. Ayah angkatnya juga memberikan tanah di tepi lahan perkebunan kelapa untuk dijadikan gua pertapaannya agar dapat mendalami ilmu yang diajarkan ''Eyang Boejoet''. Di tahun 1922, Tan Tik Sioe yang berusia 38 tahun sudah berhasil secara sempurna menguasai ''ilmu sabda'' dan ''sangkan paraning dumadi'' dari gurunya. Ia pun kemudian tinggal di ''Gua Gondo Mayeet'' dan menjadi sesosok pertapa yang sakti.<ref name="RSP"/>
==Daftar tempat suci Tan Tik Siu==
|