Kesultanan Ternate: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 47:
* Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai [[Hongi Tochten]], akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
* Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap [[Sultan Mandarsyah]] (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio pangeran '''Saidi, Majira''' dan '''Kalumata'''. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan
* Sultan '''Muhammad Nurul Islam''' atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan '''Sibori''' (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan vazal Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan '''Haji Muhammad Usman Syah''' (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai kepala suku Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. Hi.
==Warisan Ternate==
|