Filsafat linguistik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q4217244 |
Membalikkan revisi 6784076 oleh 180.249.108.60 (bicara) |
||
Baris 1:
{{rapikan|date=2011}}
'''Filsafat bahasa''' adalah ilmu gabungan antara [[linguistik]] dan [[filsafat]]. Ilmu ini menyelidiki kodrat dan kedudukan [[bahasa]] sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi [[filsafat bahasa ideal]] dan [[filsafat bahasa sehari-hari]].
Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa ialah usaha para filsuf memahami ''conceptual knowledge'' melalui pemahaman terhadap bahasa.<br />▼
▲Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa ialah usaha para filsuf memahami ''conceptual knowledge'' melalui pemahaman terhadap bahasa.
Dalam rangka mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika, matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan meneliti berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat tentang pengetahuan manusia pada umumnya.<br />▼
▲Dalam rangka mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika, matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan meneliti berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat tentang pengetahuan manusia pada umumnya.
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual itu, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.<br />▼
▲Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual itu, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.
== Perhatian Para Filosof terhadap bahasa ==
Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para filsuf biasanya berkisar pada hubungan antara simbol dan arti. Pembahasan mereka agak sukar untuk disistematikakan. Secara garis besar, pemikiran itu dapat digambarkan sebagai berikut :
=== Metafisika ===
Metafisika ialah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori yang paling pokok atas pengelompokan hal dan benda dan gambaran saling hubungan mereka. Di dalam metafisika ini, maka dapatlah filsuf-filsuf seperti Plato dan Aristoteles mencoba memahami bahasa. Sebagai misal, dalam bukunya ''Republik'' Plato berkata, “Manakah sejumlah orang menyebut kata yang sama, kita berasumsi bahwa mereka itu juga memikirkan ide yang sama”. Jadi kalau orang-orang menggunakan kata yang sama seperti ''rumah'' dan ''pohon'', maka Plato beranggapan bahwa di dalam masyarakat memang ada kesatuan ide seperti ''rumah'' dan ''poho''n itu. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkinlah beberapa orang yang berlainan menggunakan kata-kata yang sama itu.
Di dalam buku ''Metaphysics'', Aristoteles menulis “... Kita boleh bertanya apakah kata-kata seperti ''berjalan, duduk, sehat'' itu ada. Bukankah yang ada itu ialah pekerjaan ‘''berjalan, duduk, atau sakit''’. Kegiatan itu dianggap lebih nyata karena ada sesuatu yang pasti yang mendasarinya, yaitu benda atau orang....” Dalam hal ini, Aristoteles mulai dengan kenyataan bahwa orang tidak menggunakan kata kerja kecuali berhubungan dengan subjek yang dalam hidupnya memang menjalankan pekerjaan-pekerjaan seperti berjalan, duduk, dan sakit. Dari kenyataan ini, Aristoteles berkesimpulan bahwa benda itu mempunyai keberadaan yang lebih bebas dari kata kerja, benda itu lebih pokok daripada kegiatan.
Pada akhir abad 19, seorang Filsuf Jerman, Meinong, berkata bahwa setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai ''referent'' (acuan). Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Kalau benda acuan itu tidak dapat dilihat di sekitar kita, maka tentulah benda itu ada dengan cara keberadaan yang lain. <br />
Pada abad dua puluh ini, ada aliran filsafat yang disebut ''logica atomism''. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain ialah Bertrand Russel dan Ludwig Wittgenstein. Berkenaan dengan hal ini, Russel berkata antara lain : ”...di dalam simbolisme yang benar dan logis, antara fakta dan simbol yang melambangi fakta itu tentulah terdapat struktur yang beridentitas jelas. Kekompleksitasan simbol tentu menyerupai kekompleksitasan fakta yang dilambanginya.”
Dalam hal ini, Russel mengisyaratkan bagaimana sebaiknya bahasa itu. Bahasa yang benar dan logis seharusnya dapat melambangi secara jelas apa saja yang ada di dalam alam sekitar kita.
=== Logika ===
Ada cabang filsafat lain yang menaruh perhatian pada bahasa. Cabang itu sering disebut logika. Logika ialah studi tentang ''inference'' (kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha menciptakan suatu kriteria guna memisahkan inferensi yang sahih dari yang tidak sahih. Karena penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka analisis inferensi itu tergantung kepada analisis ''statement-statement'' yang berbentuk premis dan konklusi. Studi tentang logika membukakan kenyataan bahwa sahih dan tidaknya informasi itu tergantung kepada wujud ''statement'' yang mengandung premis dan konklusi. Adapun yang dimaksud dengan wujud ialah jenis istilah yang terkandung di dalam ''statement'' dan juga cara bagaimana istilah itu disusun menjadi'' statement''.
=== Epistemologi ===
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan menaruh perhatian kepada bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah pengetahuan ''a priori'', yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata. Sebagai misal ialah pengetahuan manusia dalam hal matematika. Pengetahuan matematika ini memusingkan para filsuf. Bagaimana kita tahu bahwa 7 ditambah 8 selalu ada 15? Salah satu jawabnya bahwa makna masing-masing istilah yang terpakai di dalam perhitungan matematika itu memang sudah kita anggap benar, tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Hal inilah yang mendatangkan tanda tanya pada diri para filsuf. Bagaimana istilah itu dapat mempunyai makna dan bagaimana ''statement'' itu juga dapat mempunyai makna dengan hanya mendasarkan bahwa istilah yang terpakai itu punya makna.
=== Reformasi Bahasa ===
Para filsuf juga tertarik untuk memperbaiki bahasa. Bahasa seharusnya diperbaiki karena kegiatan keilmuan para filsuf boleh dikatakan tergantung kepada pemakaian bahasa. Di lain pihak, telah banyak keluhan dari sarjana di berbagai bidang bahwa bahasa yang mereka pakai mengandung banyak kelemahan.
Keluhan para filsuf terhadap kelemahan bahasa terwujud dalam beberapa bentuk. Sebagai misal, Plotinus dan Bergson menganggap bahwa bahasa itu tidak cocok untuk dipakai sebagai dasar formulasi kebenaran yang fundamental. Menurut pendapat mereka, orang akan dapat memahami kebenaran hanya kalau mereka itu menyatu dengan kenyataan dan tanpa bahasa. Paling-paling bahasa hanya mampu menggambarkan kebenaran itu dengan gambaran yang bengkok.
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap bahasa ini. ''Pertama'', pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu masih dapat berfungsi untuk menjadi sarana pengantar filsafat. Akan tetapi, dalam pengalaman pemakaian ini tidak baik, karena si pemakai sendirilah yang salah. Si pemakai menyimpang dari cara pemakaian bahasa yang baik dan yang benar, tanpa memberikan makna apa-apa terhadap penyimpangan yang mereka lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah misalnya orang-orang seperti Locke dan Ludwig Wittgenstein. Locke tidak menyukai jargon ''scholastik''. Wittgenstein berkata bahwa kebanyakan masalah yang timbul dalam pembicaraan filsafat berasal dari kenyataan bahwa para filsuf menggunakan terminologi (istilah) secara menyimpang, berlainan dengan makna yang sebenarnya.
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kita pakai sehari-hari ini memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi syarat, kurang sesuai untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kita itu samar, tidak eksplisit (tidak lugas), mengandung keraguan (ambigu), kurang mandiri atau suka tergantung pada konteks (''context dependent'') dan sering menimbulkan salah paham. Di dalam kelompok ini terdapatlah orang-orang seperti Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan timbulnya suatu bahasa buatan manusia yang lebih sesuai untuk filsafat. Bahasa buatan manusia itu perlu diusahakan agar kelemahan-kelemahan yang ada di dalam bahasa alamiah dapat dikoreksi.
== Aturan-aturan terpokok suatu bahasa ==
Bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan terdiri dari seperangkat istilah dan seperangkat pernyataan yang dibentuk dari istilah-istilah tertentu ditambah dengan istilah-istilah lain dalam maknanya yang lazim, yang diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh sang filsuf (misalnya bahasa Inggris). Suatu bahasa yang lengkap terdiri dari seprangkat istilah dan tiga perangkat aturan.
Perangkat aturan pertama bersifat ''semantik''. Aturan-aturan ini menerangkan hubungan antara ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat dibagi lebih lanjut sebagai berikut :
* Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini menerangkan kapankah seperangkat tanda menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya, ada aturan : “Bila ada ungkapan yang terdiri dari suatu kata benda, kata kerja ‘adalah’, dan suatu kata sifat, maka hasilnya akan berupa suatu pernyataan.”
* Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk oleh macam-macam tanda tertentu. Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata benda menunjukkan orang, tempat, atau barang, dan bahwa sebutan menunjukkan ciri-ciri.
* Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu pernyataan dikatakan mengandung ‘kebenaran’. Aturan-aturan ini dapat memberikan batasan pengertian mengenai hubungan kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana seperti “Saya merasa dingin,” dikatakan benar jika, dan hanya jika, saya sungguh-sungguh merasa dingin.
Perangkat aturan kedua bersifat ''pragmatis''. Aturan-aturan ini menerangkan latar istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan yang bersifat kejiwaan, emosional, geografik, dan sebagainya. Misalnya nama ‘Tuhan’ senantiasa dipakai dengan perasaan hormat.
Perangkat aturan ketiga bersifat ''sintaksis''. Aturan-aturan ini menerangkan cara-cara menyimpulkan ungkapan-ungkapan berdasarkan ungkapan-ungkapan yang lain dengan jalan perubahan bentuk. Misalnya, jika (1) ‘p’ dan (2) ‘p’ meliputi ‘q’, maka (3) dapatlah disimpulkan ‘q’. Yang tersangkut dalam hal ini ialah aturan-aturan logika, definisi bukti, dan sebagainya.
== Standarisasi (Pembakuaan) ==
'''1. Arti standardisasi'''
Bahasa standar (baku) timbul ketika beberapa masyarakat yang terpisah merasa ada keperluan untuk saling berhubungan. Bahasa baku atau dialek baku ialah bahasa atau dialek yang dipilih oleh anggota berbagai masyarakat untuk saling berkomunikasi. Bahasa standar ialah bahasa yang dianggap betul oleh masyarakat pemakainya. Bentuk dan pemakaian bahasa baku ini menjadi model percontohan bagi seluruh rakyat.
Di samping menyesuaikan diri kepada orang yang diajak bercakap, seseorang penutur bahasa biasanya akan mencoba menyesuaikan diri dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang terpakai secara luas di masyarakat. Dalam praktek penggunaan bahasa, tarik-menarik antara bahasa standar dengan bahasa yang digunakan secara akrab ini berjalan terus-menerus.<br />
'''2. Fungsi standardisasi'''
''Pertama-tama'', bahasa baku berfungsi sebagai semacam ''lingua franca'' di dalam masyarakat yang menggunakan bermacam-macam dialek. Dengan bahasa standar ini, orang dari berbagai daerah dapat saling berhubungan dengan baik. Sebagai misal, orang dari Temburung dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang dari Seria. Orang dari Aceh dapat saling berhubungan dengan orang dari Bali, Manado, atau dari Irian Jaya.<br />
Baris 64:
Selanjutnya, bahasa baku juga berfungsi untuk mengendalikan laju perubahan dialek-dialek yang tumbuh. Bahasa baku yang mempunyai martabat yang tinggi, disenangi oleh masyarakat pemakainya, biasanya dapat memperlambat lajunya perubahan yang dialami oleh dialek-dialek.<br />
'''3. Bentuk standardisasi'''
Ragam bahasa yang santun biasanya jelas dan lengkap. Ucapannya harus jelas. Komponen wacananya lengkap dan logis, dan tidak berputar-putar.
Karena tuntutan kejelasan inilah, maka biasanya bahasa baku itu bersifat kaya (''elaborated'') dan mempunyai aturan tata bahasa yang ketat. Aturan sintaksis, aturan morfologi, aturan fonologi, dan aturan semantiknya stabil dan ketat. Bentuk dan aturan yang ada tidak boleh digunakan semau-maunya dan tidak boleh mudah berubah. Di samping itu, pola kalimatnya, pola morfo-sintatiknya, pola fonologinya, dan juga perbendaharaan katanya kaya. Dalam hal ini, bahasa baku berbeda dengan dialek-dialek yang tidak standar, karena dialek yang tidak standar itu relatif miskin (''restriced'') dan kondisifikasinya longgar. Apapun boleh dikatakan, asal si lawan bicara tahu maksud kita. <br />
'''4. Tempat standardisasi'''
Bahasa yang terpakai di pusat kebudayaan biasanya terpilih menjadi bahasa standar ini. Pusat kerajaan biasanya menggunakan bahasa standar. Mungkin saja di pusat kebudayaan inilah yang amat memerlukan bahasa yang sopan dan yang dapat dipakai untuk mengantarkan segala pesan secara jelas. Di pusat kerajaan berbagai orang dari berbagai masyarakat bertemu membicarakan berbagai masalah. Pembicaraan itupun biasanya dijalankan dalam suasana resmi dan penuh dengan rasa sopan santun.<br />
Baris 81:
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa beserta variasi-variasinya antara lain ialah sebagai berikut :<br />
'''1. Register sebagai Penyampai Maksud'''
Dikatakan bahwa bahasa ialah alat untuk berkomunikasi. Berkomunikasi pada dasarnya ialah menyampaikan maksud. Maksud itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat ''instinctive'' dan ada juga yang sangat bersifat ''manusiawi''. Yang bersifat ''instinctive'' ialah komunikasi seperti yang dijalankan hewan, yang biasanya bersifat ''emotive'' (berseru, mengelu, menyatakan rasa lega, meneriakkan perintah atau larangan). Yang bersifat manusiawi ialah komunikasi yang berbentuk bertanya, menjawab, memberitahu, menanggapi.<br />
'''2. Ragam sebagai Penyampai Rasa Santun'''
Masyarakat yang hanya mempunyai satu bahasa menggunakan ragam tutur untuk membedakan situasi yang resmi, tak resmi, indah, dan sakral. Dalam keadaan santai, ragam informal dipakai. Dalam suasana resmi, ragam formal dipakai. Dalam situasi yang indah romantis, ragam susastra digunakan. Dalam situasi sakral, ragam sakral dipakai.
Ragam formal sering berbentuk sama dengan apa yang dinamakan '''bahasa baku''' atau ragam '''bahasa standar'''. Ragam informal kadang-kadang terdiri dari dialek bahasa yang sama, tetapi yang bukan baku. Kadang-kadang juga, ragam informal itu terdiri dari “penyantaian” bahasa standar itu. Kata-katanya sering tidak diucapkan secara penuh, aturan tata kalimatnya sering tidak ketat, kata-kata yang teknis sering diganti dengan kata-kata yang umum saja. (Poedjosoedarmo, 1978).
Kepekaan anggota masyarakat dalam menggunakan masing-masing variasi ini mencerminkan kepekaan masyarakat terhadap aturan sopan santunnya. Ragam tutur yang wujudnya ditentukan oleh peristiwa percakapan, sebaliknya mengatur anggota masyarakat agar memperhatikan pemakaian ragam itu dan memperhatikan berbagai peristiwa tutur yang berbeda-beda. Memperhatikan cara penggunaan ragam tutur menjadikan anggota masyarakat peka terhadap adanya situasi bicara yang berbeda-beda. Dengan kata lain, adanya ragam tutur ini masyarakat dibuat peka dan dipaksa untuk menaati aturan sopan santun. Masyarakat tidak boleh menggunakan ragam tutur semaunya sendiri dalam bercakap di berbagai situasi dan peristiwa percakapan.<br />
'''3. Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat'''
Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang yang lain. Orang lain ini barangkali ayahnya sendiri, adiknya, tetangganya, teman sekelasnya, kenalan baru, atau orang lain yang kebetulan berpapasan di jalan. Di dalam relasi ini, orang dituntut menentukan sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur sebagai orang yang perlu dihormati atau tidak. Orang lain itu perlu dipastikan dalam jaringan hubungannya dengan si penutur. Kalau dia adalah orang yang seharusnya kita hormati, maka harus kita hormatilah dia. Kalau orang itu tidak kita hormati, maka akan marahlah dia, atau akan marahlah orang lain kepada kita.
Bahasa biasanya mempunyai cara-cara untuk menyatakan rasa hormat atau tidak hormat kepada orang lain. Ada masyarakat yang menganggap sudah cukup untuk menyampaikan rasa hormat itu dengan cara berelasi yang berjarak, tetapi ada masyarakat lain yang menyatakan relasi hormat itu dengan kode bahasa yang khusus. Yang pertama bertutur bahasa secara biasa, sedangkan yang kedua memerlukan istilah ''honorific'' (hormat) untuk menyampaikan perasaan hormat itu.
'''4. Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri'''
Setiap pribadi, karena keadaan fisik dan kejiwaan bahasa yang unik, bahasa mempunyai idioleknya sendiri-sendiri. Walaupun aturan sintaksis, morfologi, dan fonologi itu seragam, tetapi setiap orang mempunyai gaya bicaranya masing-masing. Setiap orang mempunyai kecenderungannya sendiri-sendiri di dalam memilih dan menggunakan berbagai cara mengucapkan bunyi. Setiap orang mempunyai keanehan-keanehannya sendiri di dalam cara membentuk kata dan kalimat, cara menaati sopan santun bahasa dan memilih ragam dan tingkat tutur, cara mengacu kepada orang yang dipercakapkannya, cara mengorganisasi wacananya, cara menyalurkan isi kejiwaannya. Tentu saja setiap pribadi itu sangat dipengaruhi oleh idiolek-idiolek lain yang menjadi idolanya. Idiolek itu mencoba meniru idiolek-idiolek yang lain. Akan tetapi, bagaimana pun dia itu ialah pribadi yang unik sehingga pada akhirnya idiolek itu pun berwujud lain dari yang lainnya. Mungkin kelainan itu terletak misalnya hanya pada warna suara dan salah satu kebiasaan ucapan bunyi /r/ nya, atau cara menghubungkan kalimat pengandaian, atau di dalam mengatur cara menyampaikan permintaan. Atau, perbedaan antara individu itu mungkin menyangkut perbedaan dalam kebiasaan memakai beberapa segi kebahasaan sekaligus. Bagaimanapun, di dalam kenyataannya, setiap pribadi di muka bumi ini biasanya mempunyai cara bertutur yang sedikit berlain-lainan antara yang satu dengan yang lainnya.
Kalau hal ini dibalik, dapatlah dikatakan bahwa idiolek yang berlain-lainan itu sebetulnya dimiliki oleh pribadi yang berlain-lainan pula. Dengan kata lain, idiolek yang berlain-lainan itu dapatlah dipakai untuk mengidentifikasi pribadi orang yang berlain-lainan pula.
Dengan kata lain, sesuatu variasi bahasa itu dapat dipakai untuk menjadi tandanya seseorang individu. Kalau individu itu sabar, maka akan tercerminlah kesabaran itu di dalam idioleknya. Kalau individu itu peramah, maka akan tercerminlah keramahan itu di dalam idioleknya. Kalau individu seorang yang pemberani, maka akan tercermin di dalam cara bicaranyalah sifat keberanian itu, dst.
'''5. Dialek dan Rasa Solidaritas'''
Kalau identitas seseorang individu ditandai oleh idiolek, maka identitas kelompok anggota masyarakat tertentu ditandai oleh dialek. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, kelompok itu bahkan ditandai oleh bahasa.
Bahasa atau dialek memang dapat dipakai untuk menandakan dari mana seseorang berasal. Segi apanyakah yang dapat dipakai sebagai tanda itu? Segi cara mengucapkan bunyi-bunyi konsonan atau vokal atau intonasi kalimatnya. Mungkin juga perbedaan dalam bentuk kata serta istilah yang terpakai. Ada juga perbedaan dalam idiom atau ungkapan-ungkapan tertentu. Atau perbedaan dalam strategi bercakap secara keseluruhannya.
Kecuali sebagai penanda asal-usul seseorang, dialek atau bahasa juga dapat dipakai untuk mendapatkan rasa solidaritas, rasa senasib dan sepenanggungan oleh para penggunanya di hadapan orang dari kelompok masyarakat lain. Sebagai contoh, kalau sewaktu di negeri lain kita berjumpa orang dari daerah kita, rasanya seperti berjumpa dengan saudara sendiri, walaupun sebetulnya orang lain itu belum pernah kita lihat sebelumnya. Di Jakarta, pegawai-pegawai di pusat pemerintahan biasanya merasa senang melayani orang yang datang dari daerah seasal. Mereka senang melayani orang yang bercakap dengan dialek atau bahasa yang sama dengannya. Mengapa begitu? Karena dirasanya orang-orang itu seperti keluarganya sendiri.
Mengapa dialek atau bahasa yang sama dapat menimbulkan rasa solidaritas? Sebabnya ialah karena dialek atau bahasa yang sama itu adalah milik penutur bersama. Bukan saja milik mereka bersama, tetapi hasil kreasi mereka bersama. Anggota masyarakat bukan saja secara bersama menggunakan dialek atau bahasa itu, melainkan juga menghasilkan inovasi-inovasi secara bersama dan melupakan hal yang tak perlu secara bersama. Siapakah yang menjadikan dialek itu berbeda dengan dialek yang lain kalau bukan seluruh anggota masyarakat dalam kawasan dialek atau bahasa itu. Dialek itu timbul dan tenggelam karena ulah bersama seluruh anggota kelompok masyarakat, dan gunanya memang hanya dinikmati oleh seluruh anggota kelompok masyarakat itu. Dari satu segi, dialek atau bahasa dapat dipersamakan dengan anak kandung, dan anggota masyarakat sebagai suami-isteri. Dialek atau bahasa itu ialah “hasil karya” orang-orang yang menjadi anggota kelompok masyarakat. Maka dari itu, dialek atau bahasa itu dapat menjadi pengikat rasa solidaritas orang-orang dalam kelompok itu. Rasa solidaritas ini tampak kuat pada waktu kelompok itu menghadapi orang luar. <br />
|