Islam di Sumatera Barat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Diazdiazdi (bicara | kontrib) +Islam di Mentawai |
Diazdiazdi (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 12:
Sejak abad ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh masyarakat [[Minangkabau]] baik yang menetap di Sumatera Barat maupun di luar Sumatera Barat. Jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam atau [[murtad]], secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Namun hingga akhir abad ke-17, sebagian dari mereka terutama yang ada di lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankan [[syariat Islam]] dengan sempurna dan bahkan masih melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Mengetahui hal tersebut, [[ulama|ulama-ulama]] Minangkabau yang saat itu disebut [[Kaum Padri]] dalam suatu perundingan mengajak masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung terutama [[Raja Pagaruyung]] untuk kembali ke ajaran Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803 berujung kepada konflik yang dikenal sebagai [[Perang Padri]].
Perang Padri melibatkan sesama masyarakat Minang, yaitu antara [[Kaum Padri]] dan [[Kaum Adat]]. Setelah 20 tahun konflik belangsung, pada tahun [[1833]] terjadi penyesalan di Kaum Adat<ref>{{cite journal|last=Abdullah|first=Taufik|
=== Demografi ===
Baris 37:
Meskipun Kristen merupakan agama terbesar, Islam lebih dulu masuk ke Mentawai. Agama Islam dibawa oleh suku-suku pendatang, seperti: [[Bugis]], [[Aceh]], [[Melayu]], dan [[Minangkabau]]. Pada awalnya, mereka datang hendak berdagang. Lambat laun mereka menetap di sepanjang pantai, bergaul, dan berasimilasi dengan masyarakat setempat. Mereka menyebarkan Islam melalui pendekatan-pendekatan pribadi secara timbal balik tanpa pemaksaan atau memberikan iming-iming seperti yang dilakukan oleh misionaris Kristen.{{sfn|Abidin|1997}}
Pada tahun 1968, sebagai upaya untuk menyebarkan kembali Islam, [[Mohammad Natsir]] mencanangkan program bertajuk "Dakwah Khusus Mentawai". Sepulang dari [[Padang]], Natsir berkirim surat kepada Fachruddin Datuk Majo Indo tertanggal 20 Juni 1968, yang mengingatkan agar berhatihati menghadapi gerakan pemurtadan oleh pihak Salibiyah.. Dokumen inilah yang kelak membidani lahirnya gerakan dakwah ke Mentawai. Pada tahun 1970, Dewan Dakwah Indonesia mulai mengirimkan para dai ke Mentawai.{{sfn|Abidin|1997}} Namun, jumlah dai di Mentawai masih sangat kurang. Ketua Gerakan Muslim Minangkabau (GMM) Maat Acin misalnya menyebutkan, banyak penyelanggaraan jenazah Muslim yang akhirnya dikuburkan dengan cara Kristen karena ketiadaan dai. Bahkan, ada satu desa yang dulunya 100% penduduknya Muslim, tapi kini Muslimnya tinggal 5 orang saja.{{sfn|Ghani|2013}}
== Referensi ==
|